REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Perajin lurik di Kecamatan Moyudan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, mengalami kesulitan untuk memasarkan produknya.
"Kendala utama pengembangan hasil kerajinan lurik bagi kami adalah pemasaran dan sumber daya manusia yang rendah karena tidak memiliki keterampilan baik untuk melakukan inovasi atau membuat motif baru yang berkembang di pasar," kata Ketua Kelompok Kerajinan Tenun "Lurik Kembang Maju Mandiri" Moyudan Susilowati di Sleman, Selasa.
Menurut dia, generasi muda mulai enggan membuat lurik karena dianggap tidak memiliki prospek untuk menambah pendapatan keluarga. Akibatnya, katanya, anggota perajin lurik yang awalnya mencapai 20 orang, saat ini tinggal enam orang yang aktif.
Akibat banyak perajin yang beralih profesi, kata dia, produksi lurik mengalami penurunan yang signifikan. Awalnya pihaknya mampu memproduksi sedikitnya 100 lembar per minggu, akan tetapi saat ini 120 lembar setiap bulan.
"Awalnya ada 20 alat tenun bukan mesin (ATBM) yang beroperasi, tapi sekarang hanya enam ATBM. Setiap ATBM hanya mampu menghasilkan 20 lembar per bulannya. Jadi total produksi hanya mencapai 120 per bulan. Tenunannya juga belum tentu laku, karena jarang ada pesanan," kata dia.
Sebagai upaya meningkatkan daya saing lurik, kata dia, kelompoknya telah mengajukan permohonan bantuan pelatihan keterampilan kepada Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi (Disperindagko) Sleman.
"Bantuan sudah disetujui, tapi sampai sekarang belum ada realisasinya," kata dia.