REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rancangan Undang Undang Keamanan Nasional (RUU Kamnas) dikhawatirkan merusak reformasi keamanan yang telah dibangun pascareformasi 1998. Kendati masih perlu dievaluasi, reformasi kemanan dinilai sudah baik.
"Reformasi keamanan yang telah dirintis sejak reformasi, terutama terkait pemisahan fungsi militer dalam hal ini TNI, dan Polri sudah baik," ujar Direktur Eksekutif Imparsial Pungki Indarti di Kantor Imparsial, Senin (26/11).
Saat ini, kata Pungki, militer hanya diberikan kewenangan menjaga keamanan negara dalam konteks ancaman dari luar. Sementara. Institusi Polri bertugas menjaga keamanan dan ketertiban di masyatakat.
Jika RUU Kamnas diterapkan, maka bisa mengembalikan peran militer di ranah sipil. "Militer nanti bisa menangkap siapa saja yang dianggap mengganggu keamanan nasional," ucapnya.
Dia menilai definisi ancaman negara dalam konteks RUU Kamnas sangatlah multitafsir. Hal ini berpotensi dimanfaatkan oleh kepentingan rezim berkuasa.
Definisi ancaman negara bisa mengancam masyarakat, buruh serta jurnalis dalam menyuarakan aspirasinya. Terlebih ketika mengkritik kebijakan pemerintah yang tidak prorakyat.
"Buruh bisa ditangkap karena demo tentang upah. Kemudian wartawan yang mempublikasi juga bisa ditangkap karena beritanya mengancam keamanan negara," ujar Pungki.
RUU Kamnas dianggap mampu menutup ruang demokrasi di Indonesia yang telah diperjuangkan selama ini pascapemerintahan orde baru. Pungki pun sangat menyoroti peran militer dari RUU Kamnas karena berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM.
Apalagi, kata Pungki, reformasi militer belum optimal. Hal ini terlihat dengan masih banyak terjadi pelanggaran HAM yang dilakukan TNI terhadap masyarakat maupun Jurnalis. "Militer yang melakukan kejahatan terhadap sipil pun tidak ada yang dibawa ke pengadilan umum," ujarnya.
Melihat banyaknya dampak negatif bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara, Pungki mendesak agar pemerintah tidak usah lagi membahas atau bahkan menyetujui RUU Kamnas.