REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG – Masalah kesejahteraan sosial mengenal adanya kelompok marjinal yang pada dasarnya menunjuk pada kelompok yang mengalami satu atau lebih dimensi tersingkirkan baik dalam kehidupan sosial, ekonomi, maupun politik.
Dalam kaitan tersebut, profesi pekerja sosial di era sekarang ini dipandang perlu guna meminimalisir dan menanggulangi berjamurnya kelompok marjinal yang ada di Indonesia.
“Dalam rangka penanggulangan kemiskinan dan kelompok marjinal, pendekatan kita hanya selalu berdasarkan program, berdasarkan material. Belum terlalu banyak profesi pekerja sosial yang dilibatkan di dalamnya,” ujar Deputi Bidang Koordinasi Perlindungan Sosial dan Perumahan Rakyat, Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat RI , Adang Setiana.
Kementerian Sosial sebagai salah satu lembaga pemerintah yang ditugasi menanggulangi permasalahan kelompok marjinal mengartikulasikan kelompok marjinal sebagai Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yang sering disebut pula sebagai Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial.
PMKS adalah seseorang, keluarga, atau kelompok masyarakat yang karena suatu hambatan, kesulitan, dan gangguan atau karena tidak dapat menjalin hubungan yang serasi dengan lingkungannya, mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara memadai dan wajar, serta tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya dengan baik.
Oleh karena itu, di sinilah peran pekerja sosial dirasa sangat penting guna mengembalikan keberfungsian sosial individu, kelompok, atau masyarakat tersebut.
Lebih lanjut, Adang juga menjelaskan mengenai sistem Penanganan Terpadu Kelompok Marjinal yang dapat dilakukan oleh seorang pekerja sosial. Salah satu mekanisme penting yang dapat diambil oleh profesi ini adalah dengan komitmen profesional dalam melakukan tugas dan fungsi pendampingan sosial di dalam kelompok marjinal tersebut.
“Tentu saja, sinergitas antara profesi lain pun dianggap perlu guna guna menangani masalah sosial ini,” ujarnya.
Namun, sangat disayangkan, profesi pekerja sosial ini sendiri peranannya di Indonesia belum terlalu banyak dalam menangani permasalahan sosial. Selain karena pemerintah yang kurang memberi tempat, para lulusan pekerja sosial sendiri kurang dapat fokus terhadap bidang garapannya.
“Pemerintah belum banyak memberikan kesempatan terhadap mereka, dan yang kedua lulusan pekerjaan sosial juga mungkin harus lebih menspesialisasikan diri terhadap masalah-masalah itu,” pungkasnya.