REPUBLIKA.CO.ID, Praktik bank air susu ibu (ASI) memunculkan sejumlah pertanyaan baru yang muncul di lapangan.
Salah satunya ialah adanya sangsi terkait kesempurnaan aktivitas menyusui dari perempuan yang bukan ibu kandungnya (radha'ah).
Bentuk keraguan tersebut, menurut Prof Ismail Marhaba dalam bukunya yang berjudul “Al-Bunuk Ath-Thibbiyyah Al-Basyariyyah Wa Ahkamuha Al-Basyariyyah”, bisa beragam.
Misalnya, keraguan dari sang ibu yang menyusui apakah air susu telah benar-benar dikonsumsi oleh balita dengan sempurna, sangsi terkait perempuan manakah yang menyusui anak tersebut, ragu soal frekuensi atau jumlah berapa kali menyusui, atau bentuk keraguan lainnya yang muncul entah dari ibu kandung yang bersangkutan ataukah dari ibu persusuan.
Apakah aktivitas radha'ah tersebut tetap akan dianggap dapat mendatangkan hukum mahram (haram dinikahi) dengan adanya keraguan ini?
Prof Ismail mengatakan, terjadi perbedaan di kalangan ulama soal radha'ah yang disertai keraguan. Selisih pandang ada pada poin berpengaruh tidakkah keraguan itu pada hukum mahram?
Menurut mayoritas ulama, jika keraguan seperti tersebut mencuat maka hal itu berdampak pada tidak berlakunya hukum mahram. Pendapat ini menjadi acuan oleh Mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali.
Menurut mereka, hilangnya ketetapan mahram akibat sangsi itu merujuk pada sejumlah dalil. Dasar pertama yang mereka jadikan alasan ialah hadis riwayat Muslim dari Aisyah. Hadis itu menegaskan bahwa jumlah yang paling minimal untuk radha'ah ialah lima kali.
Sebelum turun nash, Alquran menyebutkan frekuensinya sepuluh kali. Hadis ini mengisyaratkan bahwa terjadi atau tidaknya radha'ah itu didasari dengan keyakinan dan informasi yang akurat. Bukan sekadar prediksi. Apalagi, bila ada keraguan di sana.