REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), Nonot Harsono menegaskan salah pikir dan salah tafsir atas makna menggunakan frekuensi antara Kejaksaan Agung dengan PT Indosat Mega Media (IM2) harus diluruskan.
Bila tidak, carut-marut tata kelola negara di sektor telekomunikasi ini akan mengancam masa depan industri telekomunikasi, yang telah berkontribusi besar penopang kegiatan ekonomi negara.
“Pihak Kejaksaan mesti mendengarkan penjelasan banyak kalangan, baik dari Menkominfo, BRTI, Mastel, ATSI, APJII, dan para ahli telekomunikasi, yang telah menjelaskan tidak ada yang illegal dari apa yang telah dilakukan oleh PT Indosat Tbk. dan PT IM2," ujar Nonot di Jakarta.
Nonot menyebut bila Kejagung keukeuh pada pendiriannya, industri telekomunikasi terancam kolaps. "Aneh, penjelasan dari Menkominfo sebagai majelis fatwa atas diundangkannya UU Telekomunikasi dan aturan pelaksanaannya diabaikan oleh pihak kejaksaan. Lalu rujukan apa sebenarnya yang digunakan oleh pihak Kejaksaan?,” ujar Nonot.
Ia menjelaskan penggunaan frekuensi diibaratkan sama dengan pembangunan jalan tol yang dilakukan suatu pengelola. “Pengelola jalan tol inilah yang berkewajiban membayar pajak jalan tol kepada negara, sementara pengguna jasa jalan tol seperti bus, truck box, mobil kurir, travel, dan semua pengguna mobil pribadi tidak perlu membayar pajak seperti yang dikenakan kepada pengelola jalan tol itu. Mereka cukup membayar biaya kepada petugas loket pintu tol,” kata Nonot menjelaskan.
Dalam konteks kasus kerjasama Indosat-IM2 ini, Nonot juga mengibaratkan PT Indosat seperti pembangun mall besar yang di dalamnya ada seribu stand. Sehingga wajib pajak PBB adalah cukup Indosat. (baca: Kasus IM2, BRTI: Kejaksaan tak Paham Telekomunikasi).
“Nah, posisi IM2 itu hanya penyewa salah satu stand dari 1000 stand yang ada. IM2 cukup membayar biaya sewa satu stand kepada Indosat. Sebagai penyewa, IM2 tidak dikenakan untuk membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) seperti yang dikenakan kepada PT Indosat sebagai pembangun mall. Bagaimana mungkin penyewa satu stand ukuran 5x6 meter harus membayar PBB untuk mall yang luasnya lima hektar. Ibaratnya sama juga dengan wartel atau warnet yang menggunakan jaringan kabel atau fiber optik PT Telkom,” tutur pria berdarah Madura Jawa Timur ini.