Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Mengasah Mata Batin (Bashirah)
Mata batin yang tajam hanya mungkin dimiliki oleh orang yang betul-betul mencapai tingkat kedekatan khusus dengan Allah SWT, seperti yang dialami para nabi dan para wali (auliya).
Sebagaimana halnya telinga batin (sama’), mata batin (bashirah) juga membutuhkan pengasahan supaya bisa melihat lebih tajam dan mampu melihat sesuatu yang sulit diamati oleh mata kepala.
Mata batin yang lebih tajam bisa melihat dan menyaksikan hal-hal yang gaib. Untuk mengasah mata batin, diperlukan juga berbagai latihan, seperti halnya ketika kita mengasah telinga batin.
Orang-orang yang rajin melakukan mujahadah, riyadhah, muraqabah, dan berbagai bentuk pendekatan diri lainnya kepada Allah SWT, maka dapat menyingkap seluruh tabir (hijab) yang menghalangi seseorang untuk melihat dan menyaksikan sesuatu yang gaib.
Para salikin yang sudah mampu membuka tabir lalu menyingkap kegaiban maka ia sudah berada di tingkat mukasyafah, suatu prestasi spiritual yang mampu menyingkap rahasia dan alam gaib.
Menyaksikan sesuatu yang gaib sesungguhnya biasa dijelaskan dan tidak perlu kita ragu. Karena, hampir semua orang pernah mengalami mimpi. Mimpi itu sesungguhnya adalah salah satu bentuk penyaksian sesuatu yang gaib. Hanya saja mimpi kebanyakan hanya bunga-bunga tidur, seperti yang sering dialami banyak orang.
Yang dimaksud mengasah mata batin dalam hal ini bukan latihan untuk meningkatkan frekuensi kejadian mimpi, tetapi bagaimana meningkatkan tingkat kesadaran kita bisa mencapai derajat yang lebih tinggi. Dan, menyebabkan mata batin kita menjadi lebih sensitif.
Penglihatan mata batin ada persamaannya dengan mimpi, tidak bisa diidentikkan dengan mimpi biasa. Mimpi biasa (al-hilm) bisa dialami oleh semua orang tanpa dibedakan tingkat kesadaran spiritualnya.
Mata batin yang tajam hanya mungkin dimiliki oleh orang yang betul-betul mencapai tingkat kedekatan khusus dengan Allah SWT, seperti yang yang dialami para nabi dan para wali (auliya). Nabi pernah menjelaskan hal ini dengan berujar, “Mimpi baik berasal dari Allah SWT dan mimpi buruk dari setan.” (HR Bukhari).
Dalam kitab-kitab tasawuf, cerita tentang ketajaman mata batin sering ditemukan. Sebagai contoh, suatu ketika Imam al-Ghazali (1058-1111 M) ditanya muridnya, “Mengapa engkau sering mengutip hadis-hadis ahad (tidak populer) di dalam kitab Ihya’ Ulumuddin?”
Lalu, ia menjawab, “Saya tidak pernah menulis satu hadis di dalam buku ini sebelum saya konfirmasikan kepada Rasulullah SAW.
Bila diteliti selisih masanya, pernyataan al-Ghazali tak wajar. Rasulullah wafat 632 M dan Al-Gazali wafat 1111 M, selisih 479 tahun. Kitab “Ihya' Ulumuddin” merupakan masterpiece al-Ghazali yang ditulis di puncak menara Masjid Damaskus. Ini adalah berkat mimpi dari al-Ghazali.
Kejadian lain, Ibn al-Arabi (1165-1240 M), seorang sufi besar, ditanya seorang muridnya perihal bukunya, “Fushush al-Hikam”, yang dirasakan seperti ada misteri. Kata muridnya, “Setiap kali saya baca buku ini, setiap itu pula saya mendapatkan sesuatu yang baru.”
Lalu dijawab, “Buku itu memang pemberian Rasulullah langsung kepada saya, bahkan judul bukunya pun dari Rasulullah (khudz hadza kitab Fushuhsh al-Hikam). Padahal, selisih masa hidup Rasulullah dan Ibnu al-Arabi terpaut 608 tahun.