REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) telah menyetujui rencana untuk intervensi militer di Mali, Afrika Barat. Intervensi militer itu bertujuan untuk menyatukan kembali perpecahan di Mali.
Resolusi ini disetujui di New York, Amerika Serikat (AS), pada Kamis (20/12) sore waktu setempat. Dengan resolusi itu, diharapkan terjadi rekonsiliasi politik, pemilihan, dan pelatihan pasukan keamanan negara itu sebelum operasi diluncurkan untuk merebut kembali wilayah utara Mali.
Negara-negara di Afrika Barat ingin mengirim 3.300 pasukan untuk menggulingkan kelompok bersenjata yang pindah ke daerah gurun setelah dilakukannya kudeta militer di Bamako, Mali, Maret 2012. Akibatnya terjadi kekosongan kekuasaan di negara tersebut.
Presiden Mali, Amadou Toumani Toure, dipaksa mundur dari posisinya oleh pemberontak militer di pertengahan Maret lalu.
Selama pemerintahan Toure, Mali diwarnai pemberontakan separatis oleh koalisi kemerdekaan gerakan Nasional untuk Pembebasan Azawad (MNLA). Gerakan ini dilaporkan satu hubungan dengan Al-Qaidah dan Jihad di Afrika Barat (MUJWA).
Daerah dikendalikan oleh MNLA dan MUJWA sangat luas. Gerakan ini mengambil keuntungan dari ketidakpastian politik untuk menguasai wilayah utara, mengepung wilayah dan kota-kota termasuk Gao dan Timbuktu.
Namun pengamat memperingatkan, setiap operasi militer untuk mengusir MNLA dan MUJWA dari daerah tersebut akan sulit. Seorang perwira senior Prancis menyebutkan, kemungkinan bahwa MNLA dan MUJWA akan menghindari konfrontasi langsung, sehingga kekuatan intervensi tidak akan memiliki kesempatan.
"Jika pasukan yang dikirim untuk menangani mereka kredibel, MNLA dan MUJWA pasti akan meninggalkan kota-kota, dan ketua mereka mencari perlindungan di pegunungan dekat perbatasan Aljazair. Maka, itu akan menjadi langkah yang berbeda untuk mengusir mereka, " ucap perwira senior Prancis itu seperti dilansir dari Aljazirah, Jumat (21/12).