REPUBLIKA.CO.ID, Keperawanan tidak termasuk alasan diperbolehkannya gugat cerai dari suami atau istri.
Ada banyak faktor pemicu perceraian di kalangan pasangan suami istri. Kandasnya pernikahan tak hanya menimpa rumah tangga usia muda, tetapi juga dialami oleh mereka yang telah bertahun-tahun membangun keluarga.
Kesetiaan dan komitmen kedua pasangan adalah kunci utama mempertahankan hubungan.
Satu faktor perpisahan di kalangan pasangan yang baru menikah ialah ketidakperawanan istri. Ini diketahui setelah melakukan hubungan suami istri.
Apakah “cacat” itu bisa dijadikan alasan untuk menggugat cerai? Lalu, apa terminologi sakit atau kekurangan fisik dianggap boleh menjadi alasan gugat cerai?
Prof Abdul Karim Zaidan dalam “Al-Mufashhal fi Ahkam al-Mar'ati wa Bait al-Muslim” mengatakan, keperawanan tidak dikategorikan sebagai salah satu dasar kuat suami untuk menceraikan istrinya.
Cacat yang dikategorikan sebagai alasan gugat cerai, menurut para ahli fikih, ialah penyakit yang menggangu stabilitas hidup berpasangan, seperti gangguan jiwa, disfungsi seksual, atau penyakit menular seperti flu burung misalnya.
Jadi, keperawanan bukan dalih yang kuat seorang suami dengan semena-mena menceraikan istrinya.
“Polemik tentang boleh atau tidaknya suami menceraikan istri karena munculnya penyakit dengan kategori di atas pascamenikah ditanggapi dengan pendapat yang berbeda dari para ulama,” kata Prof Zaidan.
Menurut Mazhab Zhahiri, seorang suami istri tidak boleh bercerai karena salah satu pasangan terserang penyakit. Termasuk rusaknya keperawanan yang terjadi sebelum pernikahan.
Pendapat ini juga merupakan pandangan yang disampaikan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Kelompok ini berargumentasi dengan hadis tentang kisah Rafa'ah al-Qurzhi.
Ketika itu, ia telah menceraikan istrinya. Sang mantan istri kemudian menikah dengan Abdurrahman bin az-Zubair. Setelah mengetahui bahwa suami keduanya itu mengidap penyakit, ia mengajukan cerai. Namun, Rasulullah tidak mengabulkannya.