REPUBLIKA.CO.ID, DAMASKUS -- Pemerintah Suriah akhirnya bersedia untuk berunding dengan oposisi setelah utusan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Liga Arab Lakhdar Brahimi mengajukan rencana perdamaian.
Hal ini menyusul pernyataan Brahimi pada Ahad (30/12) membuat rencana gencatan senjata yang dapat diadopsi oleh masyarakat internasional.
Perdana Menteri (PM) Suriah Wael al-Halaqi, Senin (31/12) mengatakan kepada parlemen bahwa konflik harus diselesaikan hanya oleh orang-orang Suriah. ‘’Tanpa tekanan eksternal,’’ ujar al-Halaqi seperti dilansir dari Aljazirah, Selasa (1/1).
Menurut al-Halaqi, pemerintah sedang berupaya untuk mendukung proyek rekonsiliasi nasional dan akan menanggapi setiap inisiatif regional atau internasional yang akan memecahkan krisis saat ini melalui dialog dan cara-cara damai serta mencegah intervensi asing dalam urusan internal Suriah.
Al-Halaqi menjelaskan, negara ini bergerak menuju momen bersejarah ketika akan mendeklarasikan kemenangan terhadap musuh-musuhnya. Tujuannya, memposisikan Suriah untuk membangun tatanan dunia baru yang mempromosikan kedaulatan nasional dan konsep hukum internasional.
Sementara itu, kantor berita negara Suriah mengatakan, ''Kelompok teroris meledakkan sebuah pipa gas alam di sebelah timur negara yang kaya minyak yang menyebabkan hilangnya sekitar 1,5 juta meter kubik gas."
Rezim presiden Suriah Bashar al-Assad dan media pemerintah telah lama mengelompokkan aktivis dan oposisi sebagai musuh atau "teroris" yang didanai oleh Arab Saudi, Turki, dan Barat.
Saat ini Assad sejauh ini tetap memerintah Suriah, padahal Barat telah memprediksi kejatuhannya dan oposisi Suriah sekarang menguasai wilayah dalam jumlah luas dan telah menyerang Ibu Kota Suriah, Damaskus.
Sementara itu, oposisi menolak rencana Brahimi. Konflik di Suriah semkin banyak mengakibatkan korban tewas. Para aktivis mengatakan lebih dari 45.000 orang telah tewas sejak pemberontakan terhadap Assad dimulai pada Maret 2011 lalu.