REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendar menyatakan kehadiran dirinya sebagai saksi ahli dalam persidangan perkara Siti Hartati Murdaya, sudah sesuai dengan hukum acara pidana.
"Pernyataan pimpinan KPK Bambang Widjojanto dan Jubir KPK Johan Budi yang memprotes kehadiran saya sebagai saksi di Pengadilan Tipikor, itu menunjukkan keduanya tidak mengerti hukum," kata Yusril di Jakarta, Jumat (11/1).
Yusril juga menganggap Widjajanto dan Johan Budi tidak menghormati independensi Jaksa KPK dalam melakukan penuntutan perkara. Yusril menanggapi pernyataan Bambang dan Johan Budi yang memprotes karena Yusril menjadi saksi ahli dalam kasus Buol untuk Hartati Murdaya di Pengadilan Tipikor.
"Keberatan Bambang Wdjojanto dan Johan Budi, menggambarkan bahwa mereka tidak memahami hukum acara pidana dan tidak hormati independensi Jaksa KPK dalam melakukan penuntutan perkara" ucap Yusril saat dihubungi wartawan.
Menurut Yusril, apabila KPK keberatan dirinya menjadi saksi ahli, maka dirinya mempersilakan Jaksa KPK untuk menyampaikan keberatan itu saat dalam sidang pengadilan.
"Bukan malah berkomentar di luar sidang. Tapi saat sidang itu Jaksa KPK tidak menyampaikan keberatan, bahkan Jaksa KPK mengajukan pertanyaan untuk saya jawab. Majelis hakim juga tidak keberatan saya dihadirkan sebagai ahli," tegas mantan Menteri Hukum dan HAM itu.
Dalam kesempatan itu,Yusril juga meminta KPK menghormati independensi pengadilan dan tidak sepantasnya mengomentari jalannya persidangan. Dikatakan, dirinya memang menjadi penasihat hukum Wa Ode Nurhayati di PN Tipikor. Namun tidak ada ketentuan apa pun yang melarang advokat dihadirkan sebagai ahli di persidangan.
"Sedangkan terhadap kasus Zulkarnain Jabbar, sudah lama saya mengundurkan diri sebagai penasihat hukumnya. Surat pemberitahuan pengunduran diri sudah lama diserahkan ke KPK. "Masak mereka tidak tahu. Aneh," ujar Yusril.
Sebelumnya, dalam sidang kasus Buol itu, Yusril menegaskan Jaksa Penuntut Umum tidak bisa mendakwa Hartati Murdaya dengan pasal penyuapan dalami UU Tipikor. Pasalnya, masalah sumbangan pemilukada sudah diatur dalam UU tersendiri. Karena itu yang diterapkan seharusnya UU tentang tindak pidana pemilu.
Dalam kesaksiannya, Yusril menjelaskan dana yang diberikan kepada seorang calon bupati yang sedang mencalonkan kembali dalam pemilukada harus dipandang sebagai dana sumbangan pemilukada, dan tidak bisa dipandang sebagai suap.
Oleh karena itu jika ada pelanggaran dalam hal sumbangan itu, maka harus diberlakukan ketentuan dalam UU mengenai Pemilukada dan bukan diberlakukan UU Tipikor.
Yusril juga menjelaskan, peraturan menteri BPPN tahun 1999 tentang pembatasan lahan 20 ribu hektare untuk perkebunan kelapa sawit adalah bertentangan dengan peraturan di atasnya, Keppres No 37 tahun 1993.
Oleh sebab itu perusahaan Hartati, PT Hardaya Inti Plantation memiliki hak terhadap seluruh lahan perkebunan yang telah ditanami kelapa sawit sejak jauh sebelum peraturan pembatasan lahan tersebut diterbitkan. Termasuk berhak atas semua surat-surat perizinan seperti sertifikat hak guna usaha (HGU) atas lahan tersebut.
Menurut Yusril jika ada tumpang tindih aturan apalagi peraturan yang bertentangan dengan peraturan di atasnya, keputusan yang diambil oleh pejabat negara, dalam hal ini bupati Buol, harusnya keputusan yang paling tidak merugikan rakyat atau pengusaha.
Jangan sampai tumpang tindih peraturan justru dipakai sebagai dalih untuk menekan dan merugikan pengusaha. Menanggapi kehadiran Yusril sebagai saksi itu, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mempersoalkannya. "Yusril ini sebenarnya apa, saksi ahli atau lawyer," ujar Bambang.
Sementara itu, Juru bicara KPK, Johan Budi, juga mempertanyakan keputusan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor, yang mengizinkan Yusril menjadi saksi ahli. "KPK mempertanyakan kenapa majelis hakim bisa memperbolehkan Yusril yang juga merupakan pengacara seorang tersangka di KPK," ujar Johan.