REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH--Dewan Keamanan PBB, dan Uni Eropa meyakini kelompok bersenjata di Mali adalah bagian dari kelompok Alqaidah. Mereka disebut bergerak secara gerilya di beberapa negara di Afrika. Kelompok bersenjata seperti MUJAO, Alqaidah Maghrib Islam (AQIM), Anshar Dine, dan Gerakan Nasional Azawad (MNLA) yang berbasis di Mali sejak Maret 2012 mencoba mendongkel penguasa di Ibu Kota.
Sementara di Paris, Otoritas Pertahanan Prancis mengatakan intensitas serangan akan ditingkatkan. Menteri Pertahanan, Jean Yves Le Drian menyatakan, negaranya tidak meninggalkan Mali hingga kelompok bersenjata lenyap.
Pasukan Angkatan Darat Prancis dikatakan dia sudah bergabung dengan pasukan ECOWAS. ''Pingkatan bertahap (pengerahan) pasukan akan berada diangka 2.500 (personil),'' kata dia, Selasa (15/1).
BBC News mengatakan personel asing yang dikerahkan sebenarnya yang tidak berimbang dari jumlah kelompok bersenjata yang hanya sekira 800 tentara gerilyawan. Sedangkan intensitas serangan udara juga tidak menurun di Goa dan Timbuktu.
Tembakan roket dari Mirage D2000 dan Helikopter serbu legiun Prancis, meratakan basis serangan kelompok bersenjata. Namun, desingan balasan dari senapan mesin, masih terdengar di kawasan luar situs sejarah itu.
Anggota AQIM, Omar Hamaha di sisi utara Mali mengatakan, serangan udara asing, tidak melumpuhkan semangat dirinya juga kelompok lainnya. Kata dia, Prancis telah membuka sendiri gelanggang perang yang lebih mematikan ketimbang di Afganistan.
''Kami akan mempertahankan diri. Bahkan kalau mereka menggunakan bom nuklir sekalipun,'' kata dia kepada Wall Street Journal, Rabu (16/1).
Di New York, PBB mengatakan keadaan darurat di Mali telah memunculkan gejolak pengungsian baru. Tercatat menjelang sepakan serangan, tidak kurang dari 30 ribu penduduk sipil di negara itu mengungsi. Sedangkan 144 ribu lebih lainnya, sudah terdata mengungsi sejak April 2012