REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat perkotaan, Nirwono Joga, mengatakan, 80 persen tata ruang di Jakarta amburadul.
"Sebagian besar ruang terbuka hijau sebagai daerah resapan dan tangkapan air berubah jadi hunian," ujarnya, Kamis (17/1).
Dia juga mengatakan, ruang terbuka hijau (RTH) dan daerah tangkapan air beralih fungsi menjadi bangunan komersial seperti mal, hotel, dan apartemen. Selain itu, daerah bantaran kali juga berubah menjadi pemukiman warga. Karena itu, Jakarta tidak memiliki resapan air yang memadai.
Karenanya untuk memutus mata rantai banjir, pemerintah harus membenahi tata ruang. Di antaranya dengan mengembalikan ruang terbuka hijau ke fungsinya semula. Kemudian, mempercepat penambahan luasan RTH dari 9,8 persen menjadi 30 persen sebagai daerah resapan air. Karena itu, dia menilai perlu tim audit RTH terutama RTH privat di kavling-kavling gedung perkantoran dan mal.
Selain itu, memutus banjir dapat dilakukan melalui normalisasi 13 sungai dari 20-30 meter menjadi 100 meter sehingga bisa menambah jalur hijau sempadan sungai. Untuk itu, perlu merelokasi warga ke kawasan terpadu ramah lingkungan melalui pendekatan rekayasa sosial.
Dia juga mengatakan perlunya revitalisasi saluran air mikro, meso, dan makro dari diameter 60 centimeter menjadi 200 centimeter. Semua saluran tersebut harus terhubung dengan baik melalui konsep ekodrainase.
Revitalisasi dan optimalisasi juga perlu dilakukan di situ dan waduk yang sudah ada agar terbebas dari endapan lumpur, sampah, gulma eceng gondok, dan perumahan liar.