Ahad 03 Feb 2013 18:39 WIB

Pengamat: KPK Terkesan Masih Tebang Pilih

Corruption Eradication Commission (KPK) is an extraordinary government law-enforcement body set up at the end of 2003 to fight corruption. (illustration)
Foto: Antara/Rosa Panggabean
Corruption Eradication Commission (KPK) is an extraordinary government law-enforcement body set up at the end of 2003 to fight corruption. (illustration)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Saleh P Daulay mengatakan kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini sedang mendapat sorotan publik.

Pasalnya, kata Saleh, KPK terkesan hanya menunjukkan taringnya pada kasus-kasus kecil. Sementara, lanjut dia, kasus-kasus besar yang menjadi sorotan publik seakan terlupakan.

Tidak heran, papar dia,  bila publik menilai KPK terkesan tebang pilih dalam melakukan pemberantasan korupsi.

"Saya kira dugaan adanya tebang pilih itu sangat beralasan. Sikap non-kompromistis kelihatannya hanya berlaku pada beberapa kasus tertentu. Sementara kasus-kasus lain yang lebih besar, KPK seakan-akan bersikap wait and see," ungkapnya kepada Republika Online, Ahad (3/2).

Saleh menilai tindakan cepat dan tegas yang dilakukan KPK dalam menangani kasus suap daging impor sapi yang melibatkan LHI, mantan presiden PKS, juga menimbulkan banyak spekulasi.

Sementara pada kasus besar lain seperti Hambalang, BLBI, Century, Dana Haji, dan lain-lain,  lanjut dia, KPK seakan tidak punya taring. Padahal, kasus-kasus itu telah lama ditangani KPK.

"Sepertinya, KPK memang ada di bawah kendali pihak eksternal. Lihat saja, meski KPK berkesimpulan ada kerugian negara dalam kasus dana talangan BLBI, mereka malah melemparkan kasus ini kembali kepada DPR. Janji Abraham Samad untuk menuntaskan Century dalam masa setahun menjadi sirna," papar Saleh.

Semestinya, kata dia, KPK tidak boleh mengembalikan kasus ini ke DPR. Kalau itu dilakukan, menurut Saleh, lembaga superbody ini sama saja membiarkan proses hukum diselesaikan melalui proses politik. ''Itu adalah preseden buruk dalam demokrasi kita.''

"Tidak bisa dibayangkan bila proses hukum ditentukan oleh kekuatan politik. Kalau itu terjadi, salah benar bukan lagi ditentukan oleh fakta-fakta hukum, tetapi oleh perolehan hasil voting yang dilakukan oleh anggota parlemen," tegasnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement