REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Sejumlah tokoh Bali yang terdiri dari aktivis Bali Corruption Watch (BCW), mengadakan diskusi terbatas dengan mengangkat isu otonomi khusus (otsus) Bali.
Isu otsus telah beberapa kali dibahas, namun kali ini yang pertama kali dibahas setelah tertidur lebih dari delapan tahun.
Acara yang berlangsung di Hotel Inna Bali Denpasar, Senin (4/2), dihadiri anggota DPD asal Bali, Wayan Sudirta SH, Rektor Unud Prof Bakta, mantan Rektor Universitas Ngurah Rai Denpasar, Prof Cok Atmaja. Sejumlah wartawan terlibat dalam diskusi yang lebih berwujud sebagai kegiatan dengar pendapat itu.
Para peserta diskusi, mempertanyakan landasan faktual yang diperlukan untuk mewujudkan otonomi khusus Bali. Misalnya, apakah masalah kesenjangan antar daerah akibat ego kewilayahan dengan munculnya otonomi daerah.
"Setelah hilang lebih dari delapan tahun, bagaimana ide ini muncul kembali," kata Rofiqi Hasan, wartawan sebuah harian terbitan Jakarta.
Masalah otonomi khusus Bali mendapat berbagai tanggapan, apalagi bila dikaitkan dengan eksistensi orang Bali yang tidak hanya tinggal di Bali, namun juga ada di daerah lain. Cok Yudistira mengatakan, apa dan bagaimana otonomi khusus Bali agar ada konsep yang jelas.
Mantan Rektor Universitas Ngurah Rai, Cok Atmaja mengatakan, orang khawatir terhadap otsus boleh-boleh saja. Tapi otsus tidak dimaksudkan sebagai masalah kesukuan, tetapi masalah orang Bali dan tata ruang wilayah Bali sendiri.
"Kita hidup sudah ratusan tahun saling berbeda. Dari zaman raja. Toleransi tetap ada. Itu fakta dan data," katanya menegaskan.