REPUBLIKA.CO.ID, NAIROBI -- Risiko aksi kekerasan yang didasari oleh politik di Kenya dinilai berbahaya. Kekerasan tersebut meningkat saat menjelang pemilihan umum bulan depan. Peristiwa ini yang pertama sejak kekerasan berdarah pasca-jajak pendapat lima tahun lalu, kata Human Rights Watch (HRW), Jumat (8/2).
Penduduk setempat pun mempersenjatai diri karena takut akan kekerasan yang mungkin terjadi menjelang pemilihan presiden, parlemen dan pemilihan umum lokal pada 4 Maret, kata HRW, mengutip laporan dari organisasi non-pemerintah lokal.
"Penyebab yang mendasari aksi kekerasan pasca pemilihan umum masih ada, dan di beberapa bagian negara ketegangan telah meningkat," kata kelompok hak asasi manusia yang berkantor pusat di New York itu seperti dilansir AFP.
"Risiko kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia tetap sangat berbahaya," tambah organisasi itu, seraya menyalahkan kegagalan untuk melaksanakan reformasi yang dijanjikan, serta terjadi penyalahgunaan dan perilaku diskriminatif para pejabat.
Aksi kekerasan pada periode 2007-2008 telah menghancurkan citra Kenya sebagai mercusuar stabilitas di Afrika bagian timur, ketika apa yang dimulai sebagai kerusuhan politik cepat berubah menjadi aksi kekerasan etnis yang menewaskan sekitar 1.200 orang dan 600 ribu orang mengungsi.
"Kekerasan tidak bisa dihindari, tetapi tanda-tanda peringatan terlalu terang untuk diabaikan," kata Daniel Bekele dari HRW.
Setidaknya 477 orang tewas dan lebih dari 118 ribu orang meninggalkan rumah mereka karena aksi kekerasan etnis tahun lalu, tambah HRW.
Kenya, yang tentaranya masih berjuang di Somalia setelah serangan pada tahun 2011, juga mengalami serentetan serangan granat dan penembakan, yang sering disalahkan pada kelompok Alqaidah Somalia pendukung Shebab atau pendukung di dalam negeri. Ketegangan di kawasan pantai juga tinggi, yang mana polisi telah menindak kelompok gerilyawan dan separatis yang ingin memisahkan kawasan wisata populer dari seluruh Kenya.