REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tak lama lagi, kerja sama antara Indonesia dengan Nippon Asahan Alumina (NAA) akan berakhir. Kerjasama yang sudah terjalin sejak 7 Juli 1975 ini akan berakhir pada 31 Oktober 2013. Saat itu, Indonesia dan NAA sepakat membangun proyek Asahan.
Proyek Asahan terdiri dari pengembangan potensi PLTA di kabupaten Tobasa dan Pabrik Peleburan Aluminum (PAA) di Kuala Tankung, Sumatera Utara. Selanjutnya, pada 6 Januari 1976 dibentuk PT Indonesia Asalan Aluminium (Inalum).
Indonesia memiliki 41,12 persen saham. Sementara NAA memiliki 58,88 persen saham. Indonesia berkeinginan mengambil penuh kepemilikan Inalum saat kontrak selesai.
"Berdasarkan kajian aspek teknis, seluruh aset PT Inalum yang terdiri dari PLTA, PPA dan fasilitas penunjang lainnya secara umum dalam kondisi baik," ujar Menteri Perindustrian MS Hidayat, saat rapat dengar pendapat bersama komisi VI DPR, kemarin.
Namun, kata dia, beberapa peralatan dan strutur bangunan memerlukan perbaikan karena faktor umur. Selain itu, perlu diperhatikan mengenai koefisien kekuatan bendungan terhadap gempa bumi. Lumpur yang berada di bendungan Sigura-gura dan Dam Tangga (termasuk dalam proyek PLTA) juga perlu dilakukan pengerukan.
Dari aspek finansial, kata Hidayat kondisi keuangan PT Inalum, saat ini relatif baik. Hidayat mengatakan sejak tahun 2004, kinerja PT Inalum terus membaik. Pada tahun fiskal 2010, PT Inalum mencatat surplus, sehingga pada tahun 2011 seluruh hutang jangka panjang sudah dilunasi.
Dari aspek hukum, umumnya tidak ditemukan adanya pelanggaran terhadap peraturan yang berlaku di bidang korporasi, perjanjian dengan pihak ketiga, ketenagakerjaan, aset, maupun asuransi.
Indonesia membutuhkan setidaknya Rp 7 triliun untuk membeli aset PT Inalum yang saat ini masih dimiliki NAA. Sebanyak Rp 2 triliun sudah disetujui dalam APBN 2012, sisanya masih diproses dalam APBN 2013.