REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL -- Pemimpin Suku Kurdi, Abdullah Ocalan mempersiapkan rencana komitmen perdamaian dengan negara Turki.
Ia berjanji menginstruksikan pasukannya meletakkan senjata di hadapan Pemerintah Turki jika ada upaya perubahan yang ditunjukkan Perdana Menteri Turki, Recep Tayyip Erdogan terhadap Partai Pekerja Kurdistan (PKK).
Ocalan yang menjadi tahanan pemerintah Turki di pulau Imrali sejak tahun 1999 lalu memang telah mempersiapkan upaya perundingan. Medio Oktober lalu ia membuka pembicaraan dengan pemerintah agar menyusun beberapa topik kesepakatan damai.
Warga mayoritas yang mendiami wilayah tenggara Turki memang ingin segera mengakhiri pemberontakannya yang telah berjalan 28 tahun. Mereka pun bersiap-siap angkat kaki dari Turki pada Agustus nanti jika Erdogan bisa meyakinkan adanya win-win solution.
"Ocalan ingin mengetahui sikap pemerintah atas tawarannya. Kita juga ingin berbicara secara positif dengan mereka meskipun belum terlihat kemajuan di bidang politik,” ujar salah satu anggota parlemen dari Partai Perdamaian dan Demokrasi pro Kurdi (BDP), Idris Baluken pada Reuters, Kamis (28/2).
Tawaran damai Ocalan itu ditulis dalam sebuah dokumen setebal 20 halaman. Idris bersama pengurus BDP serta PKK yang berpusat di utara Irak serta Eropa sudah membacanya. Tanggapan mereka atas usulan Ocalan bakal disampaikan pada publik sekitar dua pekan mendatang.
Sebelumnya diadakan pertemuan formal Kurdi yang bakal digelar saat momen Tahun Baru Kurdi pada 21 Maret nanti. PKK memperkirakan penarikan 2000 pasukan Kurdi serta penutupan ribuan pusat pertahanan di utara Irak bakal kelar 15 Agustus mendatang.
Meski dokumen tulisan tangan Ocalan tidak boleh dipublikasikan, pihak Kurdi justru mengonfirmasi jika pimpinannya masih dalam proses menyelesaikan dokumen dama itu hingga pertengahan bulan Maret ini.
Proses menuju perdamaian Kurdi-Turki ini membutuhkan komitmen tinggi Pemerintah Turki. Terutama dalam hal pemenuhan hak-hak dasar kaum minoritas Kurdi yang berjumlah 15 juta jiwa. Atau sekitar 20 persen dari populasi penduduk Turki.
Menurut laporan harian Sabah dan Star, isi dokumen Ocalan tidak menuntut adanya hak otonomi kaum Kurdi. "Seharusnya memang tidak seorang pun meminta sesuatu yang bertujuan menghancurkan persatuan nasional. Jika mereka meletakkan senjata dan meninggalkan negara ini, banyak negara yang bisa dituju,” jawab Erdogan Selasa (26/2).
Selama hampir satu dekade pemerintahan Erdogan, terlihat upaya-upaya mendorong pengakuan hak atas kebudayaan suku Kurdi. Politisi asal Kurdi pun jeli memanfaatkan kepedulian Erdogan tadi dengan meminta jaminan hukum bagi keberlangsungan pendidikan warga Kurdi. Serta mengusulkan adanya kurikulum pengajaran bahasa Kurdi.
Harian Sabah membubuhkan relevansi konsep Ocalan dengan Erdogan. Keinginan atas pengakuan identitas suku Kurdi serta penguatan kearifan lokal menjadi perhatian kedua pemimpin tersebut. Seiring penarikan pasukan PKK, maka ratusan aktivis Kurdi yang menjadi tahanan politik juga bakal dibebaskan.
Banyak kalangan menilai langkah Erdogan sama dengan memelihara ‘bayi pembunuh’ dan menghidupkan ‘monster Imrali’ dari sarangnya. Bahkan pihak oposisi melihat rencana pertukaran politik dengan embel-embel jalan damai akan menuai kerugian bagi kedua belah pihak.
Pemimpin BDP Kurdi, Selahattin Demirtas berusaha menepis keraguan atas pemenuhan janji kesepakatan itu. “Orang Turki seharusnya tak perlu khawatir jika negaranya akan terpecah belah. Sedangkan orang Kurdi juga seharusnya tak perlu was-was jika mereka tidak mendapat hak-hak serta kebebasannya,” nilai Demirtas.
PKK memang pernah bertindak sporadis medio 1999 lalu dengan membabat kekuatan Turki di tengah kesepakatan gencatan senjata. Ratusan pasukan Kurdi pun tewas dalam pertempuran. Erdogan sat itu meminta tindakan Kurdi tak boleh terulang.
Akhir bulan lalu, kelompok 100 PKK dilaporkan akan menarik diri dari wilayah Turki dan meletakkan senjata. Sikap mereka sebagai sebuah langkah simbolis untuk mengakhiri konflik dan diyakini merupakan bagian dari tindakan membangun kepercayaan terhadap proses perdamaian.
Pemimpin senior PKK Duran Kalkan menjamin proses pembebasan tawanan Turki tergantung pada kebijakan pemerintahnya. “Tidak ada seorang pun yang bertindak dengan sendiri-sendiri. Jika operasi militer berlanjut, operasi gerilya kita juga akan dilanjutkan. Proses yang stagnan tentu menghasilkan respon adanya intensifikasi pertempuran,” ujarnya pada kantor berita Firat.
PKK yang dimasukkan sebagai organisasi teroris oleh Turki, Amerika Serikat, dan Uni Eropa, mengangkat senjata pada 1984. Mereka ingin menciptakan negara Kurdi di wilayah Tenggara Turki. Sejak itu, lebih dari 40 ribu orang telah tewas dalam konflik yang melibatkan berbagai kelompok.