Selasa 05 Mar 2013 04:44 WIB

Peneliti UGM: Biaya Eksplisit Korupsi Rp 168,19 Triliun

Red: Djibril Muhammad
Perilaku Korupsi/ilustrasi
Foto: rep
Perilaku Korupsi/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Deputi Penelitian dan Pelatihan Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM), YOgyakarta, Rimawan Pradiptyo mengatakan estimasi total biaya eksplisit akibat praktik korupsi sepanjang 2001-2012 mencapai Rp 168,19 triliun.

Hal itu diperolehnya melalui penelitian terhadap basis data korupsi yang didasarkan pada kasus-kasus korupsi yang telah diputus Mahkamah Agung (MA) sepanjang 2001-2012.

"Estimasi total biaya eksplisit korupsi didasarkan pada kasus-kasus yang telah diputus oleh MA periode 2001-2012 mencapai Rp62,76 triliun jika didasarkan pada harga berlaku, atau Rp168,19 triliun berdasarkan perhitungan harga konstan tahun 2012," kata Rimawan melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Senin (4/3).

Dia mengatakan dari total biaya eksplisit tersebut, pelaku koruptor hanya didenda atau harus mengganti sebesar 8,97 persennya saja, atau senilai Rp 6,27 triliun pada harga berlaku atau Rp 15,09 triliun pada harga konstan 2012.

Total hukuman finansial itu diperoleh berdasarkan penjumlahan dari denda, biaya pengganti dan perampasan barang bukti berupa uang.

"Sehingga selisih antara biaya eksplisit korupsi dengan total hukuman finansial yang harus dibayar koruptor sebesar Rp 153,1 triliun. Selisih tersebut dibayar oleh rakyat selaku pembayar pajak," kata dia.

Rimawan mengatakan pembayar pajak tidak saja mereka yang memiliki NPWP namun juga setiap orang yang membeli barang di sektor formal. Hal tersebut kata dia menunjukkan undang-undang yang digunakan untuk melawan korupsi ternyata justru menciptakan sistem yang memaksa rakyat mensubsidi para koruptor.

Fenomena tersebut menurutnya tidak terlepas dari UU Nomor 20 tahun 2001 (UU Antikorupsi) yang disusun tanpa mempertimbangkan rasionalitas pelaku maupun calon pelaku korupsi.

"Dalam undang-undang tersebut dijelaskan maksimum denda bagi para koruptor adalah Rp 1 miliar, sementara tidak ada batasan berapa uang yang bisa disalahgunakan oleh para koruptor. Sehingga meskipun koruptor bisa dijatuhi hukuman pengganti, namun kenyataan di lapangan menunjukkan besarnya biaya eksplisit korupsi tidak terkait dengan penjatuhan hukuman pembayaran uang pengganti," kata dia.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dia merekomendasikan pemerintah melakukan amandemen UU Antikorupsi serta menyesuaikan besarnya hukuman denda dan uang pengganti kepada koruptor disesuaikan dengan besarnya biaya sosial korupsi yang ditimbulkannya, sehingga seluruh dampak negatif yang diakibatkan oleh korupsi dibebankan kembali kepada koruptor.

"Metode ini akan menjamin pemiskinan para koruptor dan akan menciptakan efek jera yang optimal," kata dia.

Rimawan menjelaskan penelitian tersebut dimulainya bersama para mahasiswa UGM sejak 2009, dengan membangun basis data korupsi yang didasarkan pada putusan MA. Semua putusan MA menurut dia, bisa diakses bebas di situs resmi MA.

Menurut dia, pada tahap awal basis data dibangun berdasarkan putusan MA terkait kasus korupsi dari tahun 2001-2009 yang terdiri dari 549 kasus dengan 831 terdakwa. Saat ini basis data tersebut telah dimutakhirkan dan mencakup semua putusan MA terkait dengan kasus korupsi 2001-2012.

"Sehingga basis data kami saat ini mencakup 1.365 kasus dengan 1.842 terdakwa, dimana 1.424 terdakwa yang dinyatakan bersalah oleh MA," kata Rimawan.

"Namun informasi yang ada pada basis data korupsi hanya mampu mencari tahu estimasi biaya eksplisit akibat korupsi, sehingga estimasi yang dihasilkan jauh dibawah biaya sosial korupsi yang sebenarnya," ujar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement