REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Maraknya fenomena pecah kongsi yang terjadi antara kepala daerah dengan wakilnya membuat mekanisme kepemimpinan di daerah perlu diperhatikan.
Namun, menurut peneliti politik LIPI Syamsuddin Haris, usulan pemerintah agar wakil kepala daerah langsung ditunjuk dari pegawai negeri sipil (PNS) dinilai kurang tepat.
Menurut Syamsuddin, data dari pemerintah bahwa 94 persen hubungan kepala dan wakil kepala daerah retak di tengah jalan memang merupakan persoalan serius. Tetapi, mengajukan PNS sebagai wakil yang ditunjuk langsung akan menimbulkan dampak politik yang lebih besar dalam kaitannya dengan kinerja birokrasi. Karena jabatan eksekutif merupakan jabatan politik.
"Mestinya paket pasangan calon kepala dan wakil dipertahankan. Yang dibenahi adalah mekanisme dan konten dari pasangan calon itu," kata Syamsuddin di Jakarta, Rabu (6/3).
Dalam skema sistem presidensial yang dianut Indonesia, dikatakan Syamsuddin, tidak ada mekanisme pembagian wewenang antara kepala daerah dan wakilnya. Karena kepemimpinan harusnya bersifat tunggal dan satu visi.
Yang mesti dibenahi, menurutnya adalah memperbaiki komitmen antara calon kepala daerah beserta parpol pendukungnya, dengan calon wakil beserta partai yang mendukungnya. Sejak awal, masing-masing pihak harus memahami secara konstitusi pembagian wewenang antara kepala daerah dengan wakil mengacaukan sistem hukum.
"Wakil kepala daerah harus siap jadi ban serep. Itu risiko," tegasnya.
Selain itu, Syamsuddin menilai janggal ketika pembahasan mengenai wewenang kepala daerah dan wakil atau persoalan pecah kongsi dibahas dalam RUU Pilkada. Harusnya, persoalan pemerintah daerah itu menurutnya dibahas dalam RUU Pemda.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKS yang juga menjadi anggota Panja RUU Pilkada mengatakan, ketakutan terjadinya pecah kongsi bisa diselesaikan dengan pendewasaan politik. Parpol juga harus membereskan keuangan tiap partai karena konflik biasanya bermula dari masalah keuangan atau biaya politik saat pilkada.