REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mensinyalir pengelolaan organisasi kemasyarakatan (Ormas) di Indonesia dilakukan secara tidak sehat. Alhasil, banyak ormas dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang kegiatannya tergantung pendonor.
“Salah satu risiko kerentanan eksistensi ormas dan LSM lokal adalah ketergantungannya yang sangat tinggi terhadap lembaga donor,” kata Kepala Subdirektorat Ormas Kemendagri, Bahtiar di Jakarta, Kamis (7/3).
Bahtiar mengakui untuk jangka pendek masalah itu tidak terlalu berpengaruh terhadap struktur kepengurusan ormas. Namun, untuk jangka panjang hal itu kurang baik lantaran membuat mereka tidak mandiri.
Bisa dibayangkan, ujar Bahtiar, ketika dana donor asing tersebut berhenti, maka aktivitas ormas/LSM bisa serta merta berhenti. Di sisi lain, sambungnya, tingkat ketersediaan dana publik dari dalam negeri untuk pembiayaan sangat terbatas.
Belum lagi masih rendahnya kemampuan ormas/LSM menggalang kepercayaan publik untuk membantu aktivitas ormas juga menjadi kendala mewujudkan ormas mandiri.
Menurut Bahtiar, kondisi itu kalau tidak diatasi jelas tidak baik bagi pemberdayaan masyarakat. Pasalnya, tanpa adanya kegiatan maka pengurus ormas itu bisa menjadi pengangguran.
Untuk memecahkan kebuntuan masalah ormas tersebut, Bahtiar mengatakan pemerintah akan memfasilitasi dengan cara membuat payung hukum khusus terkait pemberdayaan ormas. Aturan itu belum tertuang dalam UU 8/1985 tentang Ormas.
“Di sini revisi UU Ormas hadir untuk memberi payung hukum untuk dapat dilaksanakannya pemberdayaan ormas agar tidak selalu bergantung bantuan asing,” kata Bahtiar.
Ia melanjutkan kalau RUU Ormas disahkan, nantinya negara juga bisa mencegah perilaku tirani ormas. Dengan keikutsertaan negara dalam mengelola potensi ormas, diharapkan kegiatan mereka dapat memberi sumbangsih kepada masyarakat, bangsa, dan negara.