REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Islam dinilai mengalami krisis. Minimnya tokoh representatif yang bisa diusung sebagai calon presiden dan calon wakil presiden disebut bakal 'meminggirkan' peran politik partai islam.
Peneliti Lingkaran Survei Indonesia Adjie Alfaraby menjelaskan, popularitas tokoh partai islam kalah pamor dibanding dengan tokoh partai nasionalis. Menurutnya, Hatta Rajasa yang memimpin partai bermassa islam pun hanya memiliki tingkat popularitas 6,4 persen.
Penyebabnya adalah dampak rendahnya elektabilitas partai islam. Padahal, lanjut Adjie, Undang-Undang No 42/2008 tentang Pemilihan Presiden, syarat minimal partai mengusung capres dan cawapres adalah memiliki 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional.
Dengan syarat itu, sangat berat bagi partai Islam bisa mengusung tokoh sendiri kecuali menempuh koalisi. Menurutnya, selain kalah popularitas, mesin partai, dan modal, sebanyak 61,3 persen publik menganggap tokoh nasionalis mampu mengakomodasi kepentingan Islam.
"Untuk tokoh capres partai Islam kalah pamor. Untuk cawapres, Jokowi menjadi primadona," kata Adjie di kantor LSI, Jakarta, Ahad (17/3).
Kondisi itu berpeluang menciptakan kekosongan tokoh partai Islam di Pemilu 2014 atau mengulang Pemilu 2009. Padahal, di Pemilu 2004, partai Islam bisa mengusung dua pasangan dari lima kandidat yang ikut kompetisi.
Mereka adalah Amien Rais yang diusung PAN dan Hamzah Haz yang digawangi PPP. "Di Pemilu 2009, ketiga capres adalah petinggi struktul partai, dan tak ada capres berasal dari partai Islam," ujarnya.
Adapun peneliti LSI Ade Mulyana menyatakan, kalau aturan tidak berubah maka skenario capres-cawapres hanya muncul tiga pasangan. Itu didasarkan pada raihan suara tiga teratas yang ditempati Partai Golkar, PDI Perjuangan, dan Partai Demokrat.
Menurutnya, Golkar telah menetapkan Aburizal sebagai capres sedangkan PDI Perjuangan akan mengusung lagi Megawati. Sedangkan, skenario satunya tinggal menunggu capres Demokrat.
Di luar partai tersebut, Gerindra dipastikan mengusung Prabowo. Oleh karena itu, skenario koalisi Demokrat dan Gerindra sangat mungkin terjadi. Hitung-hitungan itu dilakukan berdasarkan pengalaman perilaku elite partai yang memilih cawapres sendiri ketika bisa meraih batas minimal syarat pencapresan.