REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meroketnya harga bawang dalam beberapa pekan tidak lepas dari permainan pedagang dan importir yang mengorbankan konsumen dan petani kecil.
Hal itu dikemukakan Manajer Advokasi dan Jaringan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah.
Said menduga kuat hingga saat ini dalam bisnis pangan telah terjadi monopoli dan kartelisasi. Untuk itu, sudah saatnya pemerintah lebih transparan soal pengelolaan pangan, terutama yang terkait impor.
"Selama ini proses impor dan penentuan importir serta mekanismenya jauh dari terbuka. Harusnya informasi ini dibuka ke publik. Sekarang adalah saatnya," kata Said Abdullah dalam siaran pers yang diterima Republika di Jakarta, Selasa (19/3).
Besarnya dana yang mengalir dari impor pangan serta belum adanya transparansi terhadap para importir pangan, Said menduga hal itu berkaitan dengan praktik kongkalikong yang dilakukan partai politik. Ia sendiri tidak ingin menunjuk partai yang dimaksud.
Said menegaskan, tanpa adanya transparansi soal ini praktik-praktik kecurangan akan terus terjadi apalagi mendekati tahun 2014. "Fee dari pemberian izin dan kuota impor tentunya bisa menjadi lumbung uang bagi partai," ujarnya.
Lebih jauh Said memberi contoh terkait impor beras raskin. Pada 2008, kata dia, Indonesia mengimpor 1.848 juta ton dengan nilai 540 dolar AS per ton. Jika keuntungan per kilogram itu sebesar Rp 1.000, laba bersih yang masuk ke kantong pengusaha bisa mencapai Rp 1.848 triliun.
Lantas jika dari keuntungan itu, misalnya 25 persen diserahkan sebagai fee kepada pemberi izin, ia mengatakan, tentunya akan ada Rp 462 miliar yang bisa dimanfaatkan untuk membiayai partai.
"Seperti pada kasus korupsi daging sapi, sebagian besar fee yang didapat dari importir masuk ke kas partai melalui pejabat di kementerian atau pengurus partai," katanya.