Kamis 21 Mar 2013 22:59 WIB

'Perusahaan BUMN Paling Banyak Langgar Aturan 'Outsourcing''

Rep: Fenny Melisa / Red: Djibril Muhammad
Rambu-rambu outsourcing (ilustrasi)
Rambu-rambu outsourcing (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Persyaratan Kerja Kesejahteraan dan Analisis Diskriminasi Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans), Sri Nurhaningsih menyebut perusahaan BUMN sebagai perusahaan yang paling banyak melanggar aturan outsourcing.

"Yang paling banyak menjadi catatan permasalahan mengenai outsourcing yaitu pada perusahaan BUMN. Banyak perusahaan BUMN dari kasus yang kami temui mengalihdayakan pekerjaan inti bukan pekerjaan penunjang," kata Sri pada Seminar Nasional 'Pengaturan Outsoursing dari UU No.13/2003 sampai dengan lahirnya Permenakertrans No. 19/ 2012', di Jakarta, Kamis (21/3). 

Padahal, Sri menuturkan, menurut UU No 13 tahun 2003 (UU Ketenagakerjaan) disebutkan outsourcing atau alih daya yaitu penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan yang bersifat penunjang dan tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.

"Pada kenyataannya banyak perusahaan BUMN justru pekerjaan inti yang berhubungan dengan produksi di-outsourcing-kan," kata Sri menegaskan. 

Menurut Sri banyaknya pelanggaran tersebut kemungkinan disebabkan dari penafsiran keliru mengenai UU Ketenagakerjaan khususnya pasal 64-66 yang membahas tentang outsourcing.

"Dasar outsourcing pada UU Ketenagakerjaan yaitu pasal 64-66. Jika ada perbedaan pandangan atau ambiguitas, hal tersebut tidak dikehendaki," tutur Sri.

Sri pun merangkum secara garis besar permasalahan yang timbul akibat salah tafsir UU Ketenagakerjaan beserta peraturan pelaksananya. Menurutnya masih banyak perusahaan pemberi pekerjaaan yang tidak sesuai pasal 64-66 yaitu penyerahan sebagian pekerjaan inti bukan pekerjaan penunjang.

"Kenyataannya saat ini hampir banyak pekerjaan inti atau utama yang di-outsourcing-kan," kata Sri menerangkan.

Belum lagi pelanggaran lainnya yang kerap dilakukan perusahaan pemberi pekerjaan. "Beberapa kali kami survey di Jakarta, perusahaan pemberi pekerjaan ini tidak memiliki kantor," ujarnya.

Permasalahan lainnya, lanjut Sri, yaitu sulitnya menindak perusahaan pemberi pekerjaan di daerah yang melanggar aturan outsourcing akibat minimnya pegawai pengawas tenagakerjaan di daerah.

"Di samping itu adanya ekses otonomi daerah (otoda). Pemda dengan gampangnya merotasikan pegawai pengawas ketenagakerjaan ini ke dinas yang tidak relevan," tutur Sri.

Selanjutnya, Sri mengungkapkan, tidak semua pekerja outsourcing memperoleh hak sesuai ketentuan perundang-undangan. Sri mengatakan seringkali mereka yang menjadi pekerja outsourcing digaji dibawah upah minimal, tidak dilindungi  program jaminan sosial dan jaminan tenaga kerja.

"Jangankan pesangon, gaji tetap upah minimum meskipun masa kerja lebih dari 10 tahun," kata Sri. 

Meski menemui permasalahan, tutur Sri, outsourcing masih dimungkinkan berjalan dengan syarat pekerja memperoleh jaminan keberlangsungan pekerja dan perlindungan sosial sesuai undang-undang. 

"Misalnya mendapat upah minimimal jika masa kerja 1 tahun, mendapat cuti, perlindungan sosial, mendapat perhitungan masa kerja yang dikaitkan oleh upah," kata Sri.

Lebih lanjut Sri menuturkan permasalahan outsourcing bukan soal dihapus atau tidak karena MK sudah mengeluarkan keputusannya sebagai respon uji materi outsourcing beberapa waktu lalu.

"Artinya outsourcing masih dimungkinkan asal sesuai dengan ketentuan yang ada sesuai undang-undang seperti adanya perlindungan hak buruh, pemberian upah sesuai masa kerja, dsb," kata dia.

Saat ini, Sri menambahkan, pemerintah sedang membuat permenakertrans baru mengenai outsourcing. Pembuatan  permenakertrans baru yang akan memuat mengenai inti (core) perusahaan tersebut dilakukan agar tidak terjadi kesalahpahaman mengenai pelaksanaan outsourcing.

"Misalnya teller. Di BCA teller dinyatakan core bank sedangkan di Bank Mega noncore. Akibatnya di Bank Mega teller terhitung outsourcing sedangkan di BCA tidak. Satu sektor perbankan tapi penetapannya lain-lain. Inilah yang kerap menjadi perselisihan di lapangan. Karena itu kami, pada Permenakertrans No 19/2012 meminta perusahaan untuk menentukan core bisnisnya melalui asosiasi sektor usahanya. Permasalahannya, asosiasi mana yang kompeten untuk itu? Hal tersebut sedang kami bahas dalam pembuatan permenakertrans baru tersebut," tutur Sri.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement