REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ja’far Shodiq
Salah satu dari syiar Islam adalah shalat berjamaah, yaitu sholat yang dikerjakan dengan bersama-sama, dengan menunjuk satu orang sebagai imam (pemimpin shalat) dan lainnya menjadi makmum.
Keutamaan sholat berjamaah ini telah dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya, “Sholat jamaah lebih utama daripada shalat sendirian dengan terpaut dua puluh tujuh derajat.” (HR. Bukhari Muslim)
Namun sering kita melihat ada beberapa kesalahan yang dilakukan ketika melaksanakan sholat berjamaah. Diantaranya adalah:
Pertama, seorang makmum mendahului gerakan imam.
Dijadikannya imam dalam shalat berjamaah adalah untuk diikuti, maka makmum tidak dibenarkan untuk mendahului gerakan imam.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab shahihnya disebutkan: “Dari Abu Hurairah ra. bahwa Nabi SAW bersabda, ‘Tidakkah orang yang mengangkat kepalanya sebelum imam, merasa takut sekiranya Allah mengubah kepalanya menjadi kepala keledai atau Allah menjadikan rupanya sebagai rupa keledai.”
Makmum yang mendahului imam mendapatkan ancaman yang keras, bahwa rupanya akan diubah menjadi rupa keledai, karena antara dirinya dan keledai mempunyai kesamaan dalam kejahilan (kebodohan). Karena jika dia tahu, tentu dia tidak akan mendahului imam dalam setiap gerakan shalat.
Ancaman dengan perubahan rupa orang yang mengangkat kepalanya sebelum imam menjadi rupa keledai merupakan hal yang sangat mungkin terjadi dan hal ini termasuk jenis pengubahan wajah. Tetapi tidak pernah diriwayatkan kejadiannya secara sungguh-sungguh. Boleh jadi maknanya kembali kepada perubahan karakter, yaitu menjadi dungu seperti keledai.
Kedua, makmum yang jumlahnya satu berdiri di belakang imam atau di samping kiri imam.
Apabila shalat jamaah hanya terdiri dari dua orang (hanya ada imam dan satu makmum), maka posisi makmum adalah di samping kanan imam, bukan di kiri imam atau di belakangnya. Hal ini sebagaimana dikisahkan oleh Abdullah bin Abbas ra, dia berkata :
“Aku menginap di rumah bibiku, Maimunah. Lalu Nabi SAW shalat pada sebagian malam, lalu aku berdiri di samping kiri beliau. Maka beliau memegang kepalaku dan mendirikan aku di sisi kanan beliau.” (HR. Bukhari Muslim)
Abdullah bin Abbas pernah menginap di rumah bibinya, Maimunah. Maimunah ini adalah istri Rasulullah SAW. Ketika Rasulullah SAW bangun malam untuk shalat, Ibnu Abbas juga ikut shalat bersama beliau. Dia berdiri di samping kiri beliau sebagai makmum. Namun kemudian beliau memegang kepalanya dan menyuruhnya berdiri di samping kanan beliau.
Ketiga, tidak mengucapkan aamiin ketika imam membaca aamiin.
Tidak ada alasan malas bagi makmum untuk mengucapkan aamiin ketika imam mengucapkan aamiin (setelah bacaan al-fatihah).
“Dari Abu Huraurah ra. Bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Jika imam mengucapkan ‘aamiin’, maka ucapkan pula ‘aamiin , karena barangsiapa yang mengucapkan ‘aamiin’ bersama-sama dengan ucapan ‘aamiin’ para malaikat, maka diampuni di antara dosanya yang telah lampau.” (HR. Bukhari Muslim)
Doa Al-Fatihah merupakan doa yang paling baik dan paling bermanfaat. Karena itu disyariatkan bagi orang yang shalat, baik imam maupun makmum, berjamaah atau sendirian, untuk mengucapkan “aamiin” sesudahnya, karena ucapan “aamiin” merupakan pembawaan doa.
Hadits di atas juga menunjukkan keutamaan ucapan “aamiin” dan ia menjadi sebab pengampunan dosa. Tapi menurut ulama, pengampunan dosa ini khusus berlaku untuk dosa-dosa kecil. Adapun dosa-dosa besar harus dilakukan dengan tobat.
Semoga Allah SWT memberikan petunjuk-Nya untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan kita dalam shalat.
Wallahu a’lam bishshawab.
(Disarikan dari Syarah Hadits Pilihan Bukhari Muslim, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Ali Bassam)
Penulis: Alumni Ponpes Al-Mu’min Muhammadiyah Temanggung