REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penggunaan gas bumi untuk menggenjot produksi minyak siap jual (lifting) disinyalir merugikan negara. Bahkan karena tindakan itu, pemerintah rugi besar hingga triliunan rupiah.
Dari penggunaan gas untuk lifting minyak di Duri Riau misalnya negara bahkan dirugikan hingga 1,446 miliar dolar AS atau sekitar Rp 13 triliun. Kerugian ini terjadi karena murahnya harga gas yang digunakan untuk bahan bakar pembuat steam (uap air) untuk mengangkat produksi minyak.
Untuk menghasilkan lifting minyak, sebesar 400 ribu barel per hari, dibutuhkan 60 ribu barel per hari minyak. Namun karena adanya keinginan untuk menaikkan lifting minyak di level 460 ribu barel, maka kebutuhan minyak bahan bakar disubstitusi dengan gas bumi sebesar 360 juta kaki kubik (mmscfd).
Padahal, apabila dijual dan dialokasikan untuk sektor produkstif lain, maka harga gas sebenarnya berada dikisaran 10,33 dolar AS per juta British thermal unit (mmbtu).
"Sehingga kalau kita kalikan alokasi minyak dan gas lalu dikalikan dengan harga maka pemerintah menanggung rugi 964 juta dolar AS," kata anggota Komite Badan Pengatur Kegiatan Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Qayum Tjandranegara saat ditemui di sela-sela Seminar Nasional Gas untuk Energi Masa Depan, Rabu (27/3).
Kerugian ini bertambah apabila negara menghitung berapa harga sebenarnya yang dipatok kontraktor kontrak kerja sama (kkks) untuk tiap gas yang digunakan menggenjot lifting.
Dari harga gas yang mencapai 18,33 dolar AS per juta British thermal unit (mmbtu), gas dibeli dengan sangat murah sekitar 80 persen dari dari harga ideal. "Berarti ada sisa 20 persen harga yang tak bisa diserap dalam penerimaan negara," jelasnya.
Alhasil dengan mengalikan persentase selisih harga dengan harga minyak lalu kebutuhan minyak dan pasokan gas maka negara kembali rugi 482 juta dolar AS per tahun.
Karenanya, mantan Direktur Utama Perusahaan Gas Negara (PGN) itu meminta adanya kebijakan yang lebih komprehensif terkait pemanfaatan gas bumi. Ia menilai divesifikasi, seperti penggunaan batu bara misalnya bisa digunakan untuk mengurangi penggunaan gas.
"Gas itu sekarang adalah energi yang bersih dan seharusnya bisa dimanfaatkan untuk hal yang lebih besar," katanya menegaskan.
Ia menuturkan pemanfaatan gas seharusnya lebih baik untuk kebutuhan domestik yang langsung bersinggungan dengan kebutuhan masyarakat, seperti industri dan transportasi.
Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini menjelaskan gas memang digunakan untuk lifting minyak. Gas akan disuntikan ke sumur minyak sehingga produksi minyak pada sumur bisa meningkat.
"Kenapa gas di injeksikan ke Duri yang dikelola Chevron? Kalau itu tidak dilakukan ada berapa ratus ribu barel minyak yang tidak bisa dilifting," katanya menegaskan.
Bila ini tak dilakukan bakal ada potensi semakin besar penerimaan negara hilang. Lagipula, khusus untuk kalangan industri sebenarnya kelompok itu sudah mendapatkan pasokan paling banyak.
Bahkan per Februari 2013, industri memperoleh pasokan gas sebanyak 10.335 triliun kaki kubik (TCF), sedangkan listrik hanya mendapatkan 7.648 TCF dan pupuk hanya 3.890 TCF.
"Industri itu mendapatkan (gas) jauh lebih besar dibanding kelistrikan, dibanding pupuk, bahkan lifting," katanya menjelaskan.
Sebelumnya, pemerintahpun telah berkomitmen untuk terus menambah pasokan gas ke industri dari 10.335 TCF menjadi 10.748 TCF, listrik dari 7.648 TCF menjadi 7.877 TCF dan pupuk 3.890 TCF menjadi 3.929 TCF.
Berdasarkan data tahun 2011, produksi gas bumi mencapai 8.430 mmscfd atau setara dengan bahan bakar minyak (BBM) 1.500 ribu barel setara minyak (boepd) per hari. Sebanyak 53 persen diekspor atau setara dengan BBM 795 ribu boepd.
Di beberapa negara tujuan ekspor, gas bumi dijual dengan harga murah. Di Cina misalnya, gas asal Tangguh dijual dengan harga 3,5 dolar AS per mmbtu.