REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Program The Indonesia Human Rights Monitor (Imparsial) Al Araf mengatakan Rancangan Undang-undang (RUU) Ormas tidak perlu direvisi, melainkan lebih baik dicabut saja.
"Sebaiknya RUU Ormas dicabut saja karena masyarakat tidak membutuhkan," kata Al Araf dalam Seminar Madjid Politika tentang ‘RUU Ormas Dalam Konsolidasi Demokrasi di Indonesia’ di Universitas Paramadina, Jakarta, Kamis, (4/4).
Sebenarnya, Al Araf sedikit menjelaskan Undang-undang (UU) Ormas yang dibuat oleh mantan Presiden Soeharto merupakan bentuk politik represif pada era Orde Baru. Tujuan dibentuknya UU Ormas kala itu adalah memberangus ormas sayap Islam.
"Makanya UU Ormas itu tidak perlu direvisi menjadi RUU Ormas, tapi dihentikan saja pembahasannya," saran Al Araf.
Menurutnya, saat ini masyarakat tidak hidup dalam alam represif. Seharusnya RUU Ormas memang tidak usah diteruskan, apalagi disahkan. Semua ormas dan NGO menolak RUU Ormas ini. Al Araf khawatir akan ada demo berar-besaran jika RUU Ormas disahkan oleh pemerintah.
Dalam RUU Ormas, ujar Al Araf, banyak pasal yang membuka ruang intervensi oleh negara. Rezim politik administrasi akan diterapkan. Sehingga pemerintah bisa menyeleksi ormas yang ada.
Menurut Al Araf, RUU Ormas ini merupakan perselingkuhan antara oligarki dengan kaum kapitalis. Dimana anggota DPR RI membutuhkan dana untuk kampanye, sedangkan kaum kapitalis ingin membungkam ormas-ormas buruh sering demo meminta hak-haknya dipenuhi.