REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pencatuman pasal penghinaan terhadap presiden dalam RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dianggap tidak menghormati Mahkamah Konstitusi (MK). “Yang jelas itu bertentangan dengan konstitusi. Tidak boleh dihidupkan lagi,” kata Ketua MK, Akil Mochtar, di gedung MK, Jumat (5/4).
Soal penghinaan terhadap presiden termaktub di Pasal 256 RUU KUHP. Bunyinya, “Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden dan Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara maksimal lima tahun atau pidana denda paling banyak Rp 300 juta.”
Menurut Akil, pasal yang sudah dicabut dalam sebuah UU tidak bisa dihidupkan lagi. Meski seumpama ia secara pribadi tidak setuju dengan pencabutan pasal itu, namun karena sudah diuji materil, tentu tidak bisa diterapkan lagi. “Yang dibatalkan MK itu bukan pasal, tapi normanya, karena bertentangan dengan UUD 1945.”
Permohonan uji materiel pasal penghinaan presiden diajukan pengacara Eggy Sudjana dan aktivis Pandapotan Lubis pada Juli 2006. Mereka menilai, tiga pasal penghinaan presiden itu adalah pasal karet. Eggy merasa diperlakukan secara tidak adil karena dijerat kasus pencemaran nama baik terhadap presiden hingga harus menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Empat dari sembilan hakim konstitusi memilih berbeda pendapat (dissenting opinion). Mereka adalah I Dewa Gde Palguna, Soedarsono, H.A.S Natabaya, dan Achmad Roestandi. Akil mengingatkan, kalau pasal itu diundangkan lagi, pasti memicu reaksi masyarakat yang bakal menguji lagi ke MK. “Itu melanggar konstitusi, melanggar hak-hak negara. Di negara manapun pasal yang sudah dicabut tidak boleh hidup lagi,” katanya.