Jumat 05 Apr 2013 13:20 WIB

Pasal Penghinaan Presiden Sudah Dibatalkan Konstitusi

Rep: Erik Purnama Putra/ Red: Dewi Mardiani
Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar
Foto: ANTARA/Widodo S. Jusuf
Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pencatuman pasal penghinaan terhadap presiden dalam RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dianggap tidak menghormati Mahkamah Konstitusi (MK). “Yang jelas itu bertentangan dengan konstitusi. Tidak boleh dihidupkan lagi,” kata Ketua MK, Akil Mochtar, di gedung MK, Jumat (5/4).

 

Soal penghinaan terhadap presiden termaktub di Pasal 256 RUU KUHP. Bunyinya, “Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden dan Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara maksimal lima tahun atau pidana denda paling banyak Rp 300 juta.”

 

Menurut Akil, pasal yang sudah dicabut dalam sebuah UU tidak bisa dihidupkan lagi. Meski seumpama ia secara pribadi tidak setuju dengan pencabutan pasal itu, namun karena sudah diuji materil, tentu tidak bisa diterapkan lagi. “Yang dibatalkan MK itu bukan pasal, tapi normanya, karena bertentangan dengan UUD 1945.”

 

Permohonan uji materiel pasal penghinaan presiden diajukan pengacara Eggy Sudjana dan aktivis Pandapotan Lubis pada Juli 2006. Mereka menilai, tiga pasal penghinaan presiden itu adalah pasal karet. Eggy merasa diperlakukan secara tidak adil karena dijerat kasus pencemaran nama baik terhadap presiden hingga harus menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

 

Empat dari sembilan hakim konstitusi memilih berbeda pendapat (dissenting opinion). Mereka adalah I Dewa Gde Palguna, Soedarsono, H.A.S Natabaya, dan Achmad Roestandi. Akil mengingatkan, kalau pasal itu diundangkan lagi, pasti memicu reaksi masyarakat yang bakal menguji lagi ke MK. “Itu melanggar konstitusi, melanggar hak-hak negara. Di negara manapun pasal yang sudah dicabut tidak boleh hidup lagi,” katanya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement