REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk turut berperan aktif memerangi obat palsu di Indonesia.
Ketua MIAP Widyaretna Buenastuti, mengatakan ada banyak obat palsu yang mengandung bahan-bahan yang dapat membahayakan kesehatan.
Widyaretna mengatakan, ada banyak obat-oabtan saat ini yang dibuat tidak dibuat sesuai dengan standard. Kehadiran obat palsu, kata dia, jelas memunculkan masalah yang amat berbahaya.
‘’Masalah ini berkembang terus termasuk di Indonesia. Dan sekarang ini semua jenis obat dapat menjadi target pemalsuan, baik obat bermerek ataupun yang generik,’’ ujar Widyaretna dalam rilis yang diterima Republika Online, Ahad (21/4).
Sebuah penelitian terkini tentang obat palu yakni Victory Project yang dilakukan Akmal Taher dari Departemen Urology, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia – Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM) telah dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengukur sejauh mana masalah pemalsuan obat khususnya produk PDE5 Inhibitor (Sildenafil).
Obat ini dikenal sebagai obat terapi disfungsi ereksi. Riset telah dilakukan di empat wilayah di Indonesia., yakni Jabodetabek, Bandung, Jawa Timur (Surabaya & Malang) serta Medan . Widyaretna mengatakan, riset dilakukan menggunakan metode mystery shopping yang dilakukan pada berbagai macam outlet penjualan. Penjual obat di jalan dan juga pembelian melalui online pun ternasuk yang diriset.
Obat-obatan palsu, kata Widyaretna, tidak hanya berakibat dan menimbulkan risiko terhadap kesehatan masyarakat. Tetapi secara ekonomi juga merugikan bagi masyarakat dan juga berdampak terhadap ekonomi nasional
Hasil penelitian tersebut, menunjukkan adanya kandungan berbahaya pada obat palsu. Melva Louisa, salah seorang Biomed dari FKUI menyatakan, dari sisi kesehatan sudah tentu obat palsu yang didalamnya mungkin mengandung zat berbahaya. Bisa pula tidak dibuat dengan takaran sebenarnya.
‘’Berkisar sangat kecil hingga sangat berlebihan, pasti berakibat pada pengobatan pasien. Dampaknya bisa tidak kunjung sembuh, resisten terhadap pengobatan, sehingga kondisi makin memburuk dan bahkan dalam kondisi ekstrem hal ini dapat menimbulkan kematian,’’ kata Melva.