Jumat 26 Apr 2013 02:35 WIB

Suriah Meminta Bantuan Dana dari Iran dan Rusia

Rep: Ichsan Emrald Alamsyah/ Red: Djibril Muhammad
Rusia dan Cina menjadi pendukung bagi pemerintahan Bashar al Assad, Suriah. (ilustrasi)
Rusia dan Cina menjadi pendukung bagi pemerintahan Bashar al Assad, Suriah. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, DAMASKUS -- Perang yang terus berkecamuk, membuat Pemerintah Suriah terpaksa merogoh kocek dalam-dalam. Hal ini membuat Suriah meminta bantuan dana kepada dua sekutu terdekatnya, Iran dan Rusia.

Gubernur Bank Sentral Suriah, Adeeb Mayaleh menyatakan Pemerintah telah meminta bantuan dana kepada dua sekutunya. Meski begitu sebenarnya Pemerintah masih memiliki cukup dana untuk membungkam para pemberontak.

"Kami mengharapkan lebih banyak dukungan dari negara sahabat..ya, dukungan dana dari Iran dan Rusia serta negara sekutu lainnya," ucap dia. Bank Sentral pada 8 April kemarin diserang bom mobil, Kamis (25/4).

Ia menjelaskan Pemerintah telah berdiskusi dengan kedua negara tersebut. Bahkan telah memasuki tahap akhir pembicaraan. Ia tak menyebutkan jumlah bantuan yang akan Suriah dapat dari dua negara itu.

Teheran sebenarnya, sambung dia telah memberikan kredit lunak sebesar 1 miliar dolar Amerika Serikat. Setengahnya dari dana tersebut sudah dipergunakan Pemerintah.

Sementara Rusia membantu dalam hal pencetakan uang kertas Suriah. Hal ini karena Austria dan Jerman yang sebelumnya menjadi lokasi pencetakan uang tak bisa lagi melakukan karena sanksi Uni Eropa.

Sedangkan untuk cadangan devisa, ia menyebut Suriah masih cukup memiliki dana untuk membayar gaji pegawai negerinya dan melakukan impor. Angka pastinya adalah sebesar 17 miliar dolar AS sebelum perang, sedangkan saat ini menurut sebagian bankir sebesar 4 miliar dolar AS.

Desas-desus sebelumnya, ucap dia yang menyatakan negara telah bangkrut dan tak mampu membayar gaji pegawainya jelas salah. Meski sudah dua tahun perang terjadi, gaji selalu dibayar di awal bulan.

Perang ini telah menyebabkan negara mengalami kerugian mencapai 25 miliar Euro. Selain itu ekonomi Suriah juga mengalami stagnasi pertumbuhan, karena ia mengklaim sebelumnya sebesar 6-7 persen per tahun.

Padahal konflik ini telah benar-benar menghancurkan perekonomian Suriah. Seperti dikutip dari Reuters, penduduk tak mendapat pasokan listrik dan juga harus antre berjam-jam untuk mendapat roti dan bensin. Harga makanan dan kebutuhan pokok lainnya meningkat antara 50-80 persen di 2012.

Pound Suriah terus merosot ke angka 115 terhadap dolar Amerika Serikat. Dimana sebelumnya 46 pound per dolar sebelum perang terjadi. Inflasi pun mencapai 50 per tahun, meski Mayaleh berkilah setiap negara yang mengalami konflik seperti Libanon, Irak dan Kuwait juga mengalaminya.

sumber : reuters.
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement