REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pengamat BUMN dan Energi, Said Didu menilai berlarut-larutnya keputusan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi merupakan dampak dari keterlambatan pemerintah mengambil keputusan.
"Pemerintah akhirnya dihadapkan pada persoalan yang rumit dan menjadi buah simalakama," kata Said kepada Republika di Jakarta, Rabu (1/5).
Ia mengatakan tak ada ketegasan soal upaya menekan konsumsi BBM masyarakat juga telah membuat pemerintah diposisi sulit. Bahkan mengambil langkah untuk menaikkan BBM bersubsidi pun harus dilalui dengan upaya mendapat persetujuan soal kompensasi ke DPR.
Pada akhirnya, Said menuturkan kelambanan ini berdampak pada beban ekonomi yang semakin berat. "Mulai dari neraca perdagangan, kurs, inflasi, kepastian logistik dan semuanya akan membebani rakyat banyak, apalagi yang miskin," tegasnya.
Sebelumnya, keputusan soal BBM bersubsidi antiklimaks. Meski sudah berkoar-koar dari April lalu bakal ada kebijakan baru yang dibuat, pemerintah malah menyerahkan keputusan kenaikan BBM kepada DPR.
Setelah sebelumnya membatalkan kebijakan dua harga BBM bersubsidi, di mana ada harga lama dan harga baru BBM, pemerintah juga tak berani menaikkan harga BBM. Pemerintah mengaku akan menaikkan bila DPR setuju untuk menggelontorkan dana kompensasi.
Padahal, selama tiga tahun belakangan, konsumsi BBM bersubsidi masyarakat terus meningkat. Di 2012 misalnya, konsumsi BBM bersubsidi naik dari 40 juta kl hingga 45 juta kl.
Alhasil anggaran yang dikeluarkan untuk membeli BBM bersubsidi membengkak. Impor juga menjadi tinggi, karena kilang BBM dalam negeri hanya mampu memproduksi BBM hingga 800 ribu barel per hari, dari total kebutuhan yang mencapai 1,3 juta barel per hari.