REPUBLIKA.CO.ID, Sebagian kaum muda di tanah air - terutama di wilayah Jawa Barat dan DKI Jakarta -- mulai apatis dengan politik. Tak heran jika 30 persen pemilik hak suara -- sebagian besar anak muda -- lebih memilih menjadi golput.
Melalui jejaring sosial dan media massa, pemilih muda itu kerap berbagi informasi negatif mengenai partai politik ataupun para koruptor dalam institusi politik. Kini, pemilik hak suara sudah cerdas dan mereka lebih memilih untuk tidak menggunakan hak suaranya pada saat pesta demokrasi berlangsung.
Keengganan anak muda untuk terjun ke dunia politik praktis itu bisa berdampak besar di masa depan. Betapa tidak. Upaya memperbaiki sistem dari dalam oleh anak-anak muda yang brillian bisa semakin menjauh dari harapan.
Rendahnya partisipasi di kalangan pemilih muda itulah yang kemudian mendorong Rommy, pria kelahiran 9 Februari 1981, untuk mencalonkan diri sebagai bakal calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Provinsi DKI Jakarta.
"Fenomena ini mendorong saya untuk berbuat sebisa yang saya lakukan. Saya akan berupaya melakukan perubahan dari dalam sistem. Saya juga akan berupaya untuk memberi contoh yang baik pada anak-anak muda d iluar sana," ujar alumnus S-2 pada Faculty of Arts University of Western Australia (UWA).
Sebagai anak muda DKI, kata Rommy, ia ingin berkontribusi dalam menyumbangkan ilmu, pengetahuan, serta tenaga yang dimilikinya untuk pembangunan. ''Saya akan berpartisipasi secara aktif dalam perpolitikan kita yang didominasi oleh generasi tua," tuturnya.
Menurut Rommy, hubungan anggota DPD dengan massa dalam sistem rekrutmen anggota DPD yang tak jelas kriteria politiknya telah menyebabkan tokoh-tokoh di DPD sebagai elite yang tidak mengakar. ''Maka sangat sulit membangun struktur legitimasinya.''
"Akan tetapi, ini tentunya bisa diatasi dengan meningkatkan kewenangan dan kinerja DPD yang mendekatkan dan mengkanalkan aspirasi masyarakat dalam produk kebijakan," ungkap pendiri yayasan non-profit Civismo Foundation yang bergerak di bidang pendidikan bagi anak yang tidak mampu ini.
Ia optimistis DPD dapat berperan dalam percepatan pembangunan. Syaratny, kata Rommy, kewenangan DPD baik secara konten di UU dan praktiknya harus diperkuat di parlemen.
Selain itu, kata dia, pentingnya menyuarakan persoalan dan potret nyata di daerah agar sampai kepada produk kebijakan berupa UU atau peraturan yang menguntungkan pembangunan di daerah.
''DPD perlu memfasilitasi pusat dan daerah dalam menyelesaikan persoalan otonomi daerah,'' ucap Rommy. Posisi anggota DPD sebagai calon perseorangan merupakan potensi yang bisa digunakan dalam menjaring input dan menggerakkan partisipasi masyarakat untuk pembangunan.
''Karena anggota DPD tidak perlu membawa label partai dan golongan tertentu," imbuhnya
.
Rommy pun mengaku memiliki solusi untuk meningkatkan peran DPD ke depan agar terhubung secara emosional dengan para pemilih dan juga untuk memaksimalisasi peran sebagai bagian dari institusi politik di tanah air.
Pertama, kata dia, mengemas tema dan isu kebijakan yang memiliki aspirasi dari daerah. Kedua, memfasilitasi dan proaktif dalam menghubungkan pusat dengan daerah dalam program percepatan pembangunan di era otonomi daerah.
Ketiga, menjadi mediator dalam menyelesaikan polemik pusat dan daerah terkait persoalan otonomi daerah. Keempat, membantu memetakan potensi dan karakteristik daerah agar kebijakan nasional bisa diterjemahkan di level daerah.
"Terakhir, adalah melakukan komunikasi dan kerjasama dengan partai politik di daerah untuk memprioritaskan pembangunan di daerah berdasarkan peta potensi yang sudah dimiliki daerah," tandasnya.