Selasa 14 May 2013 12:33 WIB

Bank Sentral Diminta Pisahkan Regulasi Bank Syariah

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Nidia Zuraya
Bank Indonesia
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Bank Indonesia

REPUBLIKA.CO.ID, DUBAI -- Bank-bank sentral di negara-negara Muslim diminta mengadopsi satu set regulasi terpisah untuk perbankan syariah, termasuk pelaporan keuangan syariah. Standar baru ini guna mengurangi kebingungan di kalangan cendekiawan Muslim terhadap produk perbankan syariah.

Regulator didesak mengembangkan tingkat keuntungan antarbank syariah agar dapat bersaing dengan suku bunga yang ditawarkan bank konvensional. "Beberapa ahli mencoba meniru praktik perbankan syariah dengan perbankan konvensional, ini seharusnya tidak terjadi," ucap Kepala Eksekutif Dar Al Sharia (anak perusahaan Bank Islam Dubai), Suhail Zubairi, seperti dikutip dari Al-Bawaba, Selasa (14/5).

Zubairi mengatakan pihaknya telah melihat keuntungan berdasarkan aset yang belum diserahkan. "Keuangan syariah adalah keuangan etis. Ini harus benar-benar terpisah dari sistem perbankan konvensional," katanya.

Saat ini bank syariah terus menggunakan suku bunga bank konvensional sebagai acuan dalam menawarkan tingkat keuntungan. Hal ini harus diubah. Pemerintah perlu memastikan perbankan syariah mengikuti norma-norma Islam. "Kita harus mengembangkan tingkat keuntungan antarbank sebagai benchmark bagi bank syariah," ujar Kepala Eksekutif Mashreq Al Islami, Moinuddin Malim. Menurutnya perbankan syariah perlu menyempurnakan standar dasar mereka sendiri.

Berdasarkan proyeksi Ernst & Young, aset perbankan syariah di seluruh dunia diperkirakan mencapai 1,8 triliun dolar AS pada akhir 2013. Naik dari 1,3 triliun dolar AS pada akhir 2012.

Organisasi Audit untuk Lembaga Keuangan Syariah (AAOIFI) telah menyiapkan standar pelaporan keuangan untuk lembaga keuangan syariah. Kepala Eksekutif BMI (bank berbasis di Bahrain), Jamal Al Hazeem mengatakan bank-bank sentral harus membuat keputusan yang benar dalam mengatur perbankan syariah. "Tidak bisa diatur oleh prinsip-prinsip dan kontrol yang sama dengan sistem perbankan konvensional," ujarnya.

AAOIFI harus menjadi pedoman standar pelaporan utama bagi perbankan syariah. "Kita harus mendorong sentralisasi papan pedoman syariah, menyatukannya dan harus ada kesepakatan umum mengenai produk dan layanan syariah," ucap Al Hazeem. Para pelaku perbankan syariah tidak seharusnya membingungkan konsumen dengan standar yang berbeda, misalnya untuk sukuk, Murabahah, dan Ijarah.

Secara global, industri perbankan syariah terus mencatat pertumbuhan kuat. Sebanyak 20 bank syariah mencatat pertumbuhan sebesar 16 persen dalam tiga tahun terakhir.  Arab Saudi muncul sebagai pasar terbesar untuk aset syariah.

Pada 2012, industri perbankan syariah di Arab Saudi menduduki peringkat pertama dengan aset sekitar 207 miliar dolar AS. Malaysia menempati peringkat kedua dengan total aset sebesar 106 miliar dolar AS. Sementara Uni Emirat Arab menduduki peringkat tiga dengan total aset 75 miliar dolar AS. Permintaan terhadap sukuk diharapkan melejit menjadi 950 miliar dolar AS pada 2017.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement