REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Antara 180 sampai 200 warga Prancis tahun lalu pergi ke Suriah untuk bergabung dalam pemberontakan terhadap Presiden Bashar al-Assad, kata surat kabar Le Monde, mengutip data itu dari badan-badan keamanan dalam negeri DCRI dan eksternal DGSE.
Jumlah itu, yang lebih tinggi ketimbang yang diperkirakan sebelumnya sekitar 50 orang termasuk para petempur yang mengangkat senjata dengan kelompok-kelompok pemberontak seperti Front Nusra yang punya hubungan dengan Alqaidah. Sekitar 24 orang telah pulang ke Prancis, kata Le Monde.
Surat kabar itu juga mengutip pernyataan sumber keamanan yang mengatakan Prancis khawatir akan risiko serangan-serangan oleh mereka yang pulang dari konflik itu.
Tetapi sumber-sumber keamanan mengatakan mereka kurang perangkat hukum untuk memantau secara efektif mereka yang pulang itu.
Banyak negara Barat cemas pada para individu yang melancarkan serangan-serangan spontan seperti pembunuhan seorang tentara Inggris oleh dua pria di satu jalan London tengah hari itu.
Prancis yang melakukan intervensi militer di Mali Januari untuk membantu pemerintah mengusir dan memukul mundur satu serangan oleh para petempur Islam, menyatakan kecemasannya tentang bahaya kelompok garis keras dalam negeri seperti Gilles Le Guen, yang ditangkap bulan ini di Timbuktu, Mali, pulang ke Prancis melakukan serangan-serangan.
Cabang Afrika Utara Alqaidah, AQIM mengklaim mengkoordinasikan serangan terhadap satu pangkalan militer dan tambang uranium yang menewaskan 24 tentara dan seorang sipil pekan ini. Tetapi sejauh ini tidak ada tanda-tanda yang mencemaskan tentang serangan oleh kelompok garis keras yang pulang dari Suriah.
Le Monde memberitakan bahwa walaupun sekitar 20 anggota kelompok garis keras Prancis pulang, hanya satu yang dipenjrarakan -- seorang warga Prancis asal Korea berusia 25 tahun bernama Flavien Moreau yang berperang bersama kelompok Islam Ahrar Al-Cham di Suriah.