REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG --- Rencana pemerintah untuk memberikan kompensasi kepada rakyat akibat kenaikan BBM sungguh sangat tidak mendidik. Kebijakan ini terbukti tidak berpengaruh kepada rakyat dan justru dapat membuat konflik sosial.
"Bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) sama saja dengan bantuan langsung tunai (BLT). Ini membuktikan bahwa pemerintah tidak punya desain program yang jelas untuk mengurangi kemiskinan akibat kenaikan BBM," kata Sekjen Perhimpunan Petani dan Nelayan Sejahtera Indonesia (PPNSI) Riyono dalam rilis kepada Republika, Selasa (4/6).
Riyono memaparkan, survei LSN dan LSI membuktikan bahwa 62,5 persen rakyat menolak kebijakan kenaikan BBM. Dia mempertanyakan kenapa pemerintah ngotot memberikan BLSM.
Menurut PPNSI kebijakan kenaikan BBM dan rencana pemberian BLSM saat ini sangat tidak tidak tepat. Kenaikan BBM membuat petani dan nelayan kesulitan mendapatkan solar. "Saat BBM belum naik saja nelayan sudah sulit mendapatkan solar untuk melaut, apalagi mau dinaikkan," keluh Riyono.
Akibat kenaikan BBM dan rencana pemberian BLSM kepada rakyat akan mengakibatkan dampak buruk bagi ekonomi rakyat kecil, khususnya nelayan. Pertama, harga solar akan jauh di atas Rp 5.500, belum naik saja harga sudah mencapai Rp 5.000, dan kalau naik nelayan bisa dapat harga Rp 6.000 - Rp 6.500. Kondisi akan memberatkan nelayan yang jauh dari akses ekonomi selain laut.
Kedua, petani kesulitan mendapatkan solar untuk traktornya, karena untuk membeli solar memakai diriken di SPBU tidak dibolehkan.
Melihat kondisi ini PPNSI meminta DPR menolak usul pemerintah menaikkan BBM dan pemberian BLSM yang penuh muatan politik karena menjelang Pemilu 2014. "Jangan korbankan nelayan dan petani serta rakyat kecil di desa ini untuk kekuasaan semata," kata Riyono.