Senin 17 Jun 2013 15:09 WIB

Terkatung-katung di "Negeri Pisang Sapi"

Aktivitas nelayan di Pelabuhan Bitung.
Foto: Priyantono Oemar/Republika
Aktivitas nelayan di Pelabuhan Bitung.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Priyantono Oemar

Enam puluh empat tahun lalu, Salili Maulana lahir di Davao, Provinsi Davao del Sur, Filipina. Ia kemudian menjadi nelayan di sana, mengikuti jejak orang tuanya. Orang tua Salili yang berdarah Tidore meninggalkan Sangir untuk merantau ke Davao di Pulau Mindanao.

‘’Saat ini, ada sekitar 22 ribu WNI di Pulau Mindanao, Filipina,’’ ungkap Komandan Kodim 1310/Bitung, Letkol Hardo Sihotang.

Menurut Salili, WNI di Davao del Sur selalu didata setiap tahunnya. ‘’Seribu peso tiap tahun kita harus membayar ke Filipina,’’ ujar Salili kepada Republika di Pantai Manembo-nembo, Bitung. Tapi tak semua terdata, karena tinggal di daerah terpencil. Pada pemilu 2009, tercatat 9.750 WNI pemilih di Pulau Mindanao.

Salili kini tinggal di Sangir, sejak 2001. Banyak yang memilih pulang dengan alasan serupa alasan Salili. ‘’Saya pulang ke Sangir karena di Filipina sudah susah cari ikan,’’ ujar Salili.

Meski sudah tinggal di Sangir, Salili masih suka merapat ke wilayah Filipina dekat Miangas untuk menjual ikan jika susah merapat ke Sangir karena gelombang. Yang sering dia sambangi adalah Pulau Balud dan Pulau Sarangani.

Masuk ke sana, satu orang harus membayar Rp 20 ribu. ‘’Ada tiga pos border cross area yang harus dilewati, sehingga per orang harus bayar Rp 60 ribu,’’ jelas Salili yang biasa bersama dua nelayan di kapal miliknya untuk menjala ikan, rata-rata selama tiga hari di laut.

Salili membawa kapal milik sendiri. Ia membuatnya dari multipleks, menghabiskan 10 lembar multipleks yang ia beli di Filipina, empat kilogram paku, empat pohon kayu nangka. ‘’Habis Rp 20 juta,’’ujar dia.

Orang-orang seperti Salili, WNI yang sudah pernah tinggal di Filipina, jika bekerja di kapal ikan milik pengusaha Indonesia, akan ditunjuk sebagai nakhoda kapal, yang akan menjadi juru bicara jika ditangkap di laut akibat pelanggaran. Arsyad Sandil (38 tahun), misalnya.

Arsyad yang mengaku lahir di Peta, Sangir, pernah bekerja tiga tahun di kapal ikan Filipina dan tujuh tahun bekerja mengurus kolam di Filipina. Ia pulang kembali ke Sangir pada 2010. Sepuluh tahun tinggal di Filipina secara ilegal membuat dirinya tak memiliki kartu identitas lagi.

Kini Arsyad menakhodai kapal ikan pengusaha Bitung yang memiliki empat anak buah kapal (ABK) dari Filipina, berbekal surat keterangan dari pemilik kapal. Empat ABK itu juga tak memiliki bukti identitas kewarganegaraan Filipina.

Dua di antara anak buah Arsyad adalah Jun Bitikan (28 tahun) dan Rosalito Monfiel (44 tahun) yang berasal dari General Santos (Gensan), wilayah di sebelah barat Davao, di bagian selatan Pulau Mindanao.  Mereka pernah memiliki kartu identitas kewarganenagaraan. ‘’Selama di kapal, tak bisa mengurus yang baru,’’ ujar Rosalito kepada Republika.

Rosalito meninggalkan anak-istrinya di Filipina. Ia rajin mengirim uang kepada istrinya, rata-rata Rp 1 juta setiap kali kirim, sekitar 4.000 peso. Di Filipina, kata Rosalito, uang sebesar ini bisa mendapatkan beras sekitar 200 kg.

Sedangkan Jun, Maret lalu baru menikahi perempuan Sangir. Karena tak memiliki bukti identitas kewarganegaraan, Jun belum menikah di gereja dan tak tercatat di kantor Catatan Sipil.

Nelayan Filipina yang hidup di Sulawesi Utara, rata-rata menikah tidak di gereja dan tidak didaftarkan di Catatan Sipil, karena tak memiliki bukti identitas kewarganegaraan. Di antara mereka yang menikah dan tinggal di Bitung, sudah ada yang memiliki anak berusia delapan tahun.

Letkol Hardo mengakui, pernikahan yang tak tercatat dan keberadaan orang tua yang tak memiliki bukti identitas akan memunculkan masalah bagi keturunan mereka di masa mendatang. Jika mereka tetap tak memiliki bukti identitas, akan membuat mereka sulit mengurus akta kelahiran anak-anak mereka.

‘’Karena itu, keberadaan mereka ini bukan lagi masalah lokal, tapi sudah menjadi masalah nasional,’’ ujar Hardo.

Menurut Hardo, hubungan Sangir dan Talaud dengan Filipina sudah cukup lama. Bahkan, kata Abriveno YL Pitoy, peneliti dan antropolog di Indonesian Resource  Center for Indigenous Knowledge (Inrik) Universitas Padjadjaran Bandung, hubungan secara kultural orang Sangir dan Talaud dengan Filipina sudah terjadi sejak ratusan tahun lalu.

Cucu mereka, keturunan ketiga dan keempat, banyak yang sudah berumur di atas 18 tahun dan tak memiliki informasi yang cukup untuk mengurus kartu identitas kewarganegaraan. Mereka tinggal di Provinsi Davao del Sur, tersebar di berbagai daerah, yaitu di Davao, Gensan, Sarangani di pesisir selatan Pulau Mindanao,  Cotabato, Pulau Sarangani, dan Pulau Balud. Lokasi daerah-daerah ini tak jauh dari Kepulauan Sangir-Talaud.

Jun dan Rosalito telah meninggalkan Filipina sejak 2007. Semula mereka bekerja di kapal Filipina. Karena kapalnya dijual oleh pemilik, mereka kemudian bekerja di kapal Indonesia sejak 2010 dan menempati rumah bedeng di Pantai Manembo-nembo, Bitung, jika sedang mendarat. ‘’Ada rumah kayu dua kamar. Kami tinggal di sana,’’ ujar Arsyad.

Ulet mencari tuna

‘’Pergilah ke tempat pelelangan ikan (TPI) di Pelabuhan Bitung, tutup mata, lalu tunjuk siapa pun. Pasti yang tertunjuk adalah orang Filipina,’’ ujar Kapten Marinir Ivan Halim, menggambarkan betapa mayoritas yang bergiat di TPI Bitung adalah orang-orang yang datang dari Filipina. Selain menjadi ABK kapal Indonesia, banyak dari mereka yang menjadi buruh pelabuhan.

Di Bitung, kata Ivan Halim, ada sekitar 3.000 orang dari Filipina yang tak memiliki bukti identitas kewarganegaraan. ’’Mereka tinggal menyebar di banyak tempat di pantai-pantai Bitung dan di kapal-kapal,’’ kata Perwira Staf Operasional Satuan Keamanan Laut (Satkamla) Bitung itu. 

Keberadaan mereka, tak hanya di Bitung. Mereka juga ada di Sangir termasuk di Tahuna (ibu kota Sangir), Talaud, Manado, Gorontalo, Minahasa pesisir. Mereka bekerja di kapal-kapal Indonesia,yang dimiliki oleh, kata Hardo, ‘’Ada pengusaha, ada pejabat, ada anggota dewan, dan ada dari aparat juga.’’

Pemilik-pemilik kapal Indonesia mempekerjakan mereka karena mereka dinilai ulet mencari ikan. ‘’Kalau nelayan kita dapat satu tuna, mereka dapat 10 tuna,’’ ujar Ivan Halim.

Pengepul ikan di pantai Manembo-nembo, Paniluas, mengakui etos kerja mereka. ‘’Jika nelayan kita, baru beberapa hari tak dapat ikan, mereka buang bekal, kemudian pulang. Kalau mereka, bisa tiga minggu di laut,’’ ujar dia.

Arsyad juga mengakui keunggulan nelayan Filipina yang menjadi anak buahnya. Arsyad yang juga ikut mengail, selalu kalah jumlah untuk hasil ikan tuna tangkapannya. ‘’Jika saya hanya dapat 20-30 kilo, mereka masing-masing bisa mendapat 40-50 kilo, bahkan 60 kilo,’’ ungkap Arsyad.

Untuk mengail tuna, selain membawa bekal makan minum selama dua-tiga minggu, mereka juga membawa ‘’batu cinta’’. Inilah salah satu yang membuat nelayan Filipina mendapatkan tuna lebih banyak. Mereka mahir mengail dengan batu sebagai pemberat kail, sehingga umpan bisa masuk lebih dalam ke laut.

‘’Seribu batu harganya Rp 500 ribu,’’ ujar Rosalito. Ketika umpan dimakan tuna, hentakan kail akan membuat batu-batu itu terlepas dan tak menambah beban saat menarik tuna. Batu-batu itu, kata Arsyad, diambil dari wilayah Kema, Bitung.

Pada 1993, Davao-Bitung menjalin kerja sama sebagai kota kembar (sister city). Di Davao didirikan patung Sam Ratulangi, di Bitung didirikan patung Jose Rizal. Kerja sama inilah yang dinilai banyak orang sebagai cikal-bakal membanjirnya orang-orang dari Filipina ke Bitung.

ABK-ABK kapal Filipina yang ditangkap tak pernah dibawa ke darat. ‘’Jika ada kapal Filipina yang kita tangkap, lalu ABK-nya kita serahkan ke Imigrasi, Imigrasi tak mampu menampung mereka. Akhirnya mereka tetap tinggal di kapal,’’ ujar Ivan Halim.

Maka TNI AL yang menanggung makan mereka selama mereka berada di kapal. Tapi, karena stok makanan di kapal habis, satu per satu mereka izin mencari ikan dan tak kembali lagi ke kapal. Mereka juga tak kembali ke Filipina, melainkan bekerja di kapal Indonesia secara ilegal.

Kehadiran mereka membawa masalah kewarganegaraan. Pemerintah Filipina tak mengakui keberadaan mereka.

Februari lalu Satkamla Bitung menangkap tiga kapal Filipina dengan 80 ABK. ‘’Setelah kita data dan dilaporkan ke Konsulat Jenderal (Konjen) Filipina di Manado, hanya lima ABK yang diakui sebagai warga negara Filipina dan dipulangkan oleh Konjen. Sisanya tetap di perairan Sulawesi,’’ jelas Ivan Halim.

Inilah mereka yang kemudian disebut warga Pisang Sapi, yang lebih banyak tinggal di laut. Pisang adalah Pilipina Sangir, untuk menyebut mereka yang ayahnya berasal dari Filipina dan ibunya berasal dari Sangir. Sedangkan Sapi adalah Sangir Pilipina, sebutan untuk mereka yang ayahnya berasal dari Sangir dan ibunya dari Filipina.

Selain masuk Indonesia melalui ‘’jalur’’ kapal Filipina yang ditangkap, nelayan Filipina bisa bekerja di kapal Indonesia juga melalui ‘’jalur’’ merapat ke Sangir terlebih dulu, lalu ke Bitung. ‘’Di Sangir ada percaloan, dikirim ke Bitung, Manado, Miangas,’’ ujar Letkol Hardo.

Para ABK dari Filipina yang tak memiliki kartu identitas ini memilih bekerja di Indonesia. Menurut mereka, ikan di laut Filipina sudah sangat berkurang, sehingga lebih mudah mencari ikan di perairan Indonesia. Selain itu, mereka juga memiliki alasan lain, seperti kata Rosalito, yang sudah lebih dari tiga tahun tak pulang ke Filipina, ‘’Takut ditangkap, karena tak ada surat-surat.’’ 

Selama bekerja di kapal Indonesia, menurut Rosalito, orang-orang seperti dirinya tak mendapat kesulitan selama berada di Bitung. Oleh karena itu, mereka lebih senang bekerja secara ilegal di kapal Indonesia. Sehabis melaut, kata Arsyad, 20 persen dari ikan yang didapat diberkan kepada pemilik kapal dan dipotong uang makan Rp 3 juta. Sisanya, dibagi untuk ABK.

Karenanya, Jun memilih tetap bekerja di kapal Indonesia daripada harus pulang ke Filipina. Ia yang tak berpendidikan, cukup susah mendapatkan pekerjaan di Filipina. ‘’Cari kerja di Filipina ditanya bisa baca tulis tidak,’’ ujar Jun yang tak lancar baca-tulis.

Tentu saja mereka lebih betah ikut kapal Indonesia. Rosalito mengaku diterima baik di lingkungan masyarakat Bitung. Hal yang juga diakui Paniluas. ‘’Tak ada masalah dengan kehadiran mereka. Bahkan kita harus mengakui mereka, karena mereka telah meningkatkan produksi ikan tuna di Bitung,’’ ujar Paniluas.

Tuna Sulawesi Utara yang ada di Pelabuhan Perikanan Samudra (PPS) Bitung mencapai 15 persen dari tuna Indonesia. Per Oktober 2012, tuna di PPS Bitung mencapai 138 ribu ton. Nelayan-nelayan Pisang Sapi mempunyai andil besar meningkatkan tangkapan tuna.

‘’Sudah terbiasa, karena sudah mencari tuna sejak masih di Filipina,’’ ujar Rosalito merendah, ketika ditanya soal kemahiran nelayan-nelayan Filipina menangkap tuna.

Tuna segar dan tuna olahan Bitung telah diekspor ke beberapa negara, termasuk ke Eropa dan Amerika. Meski sempat turun di harga Rp 30 ribu per kilogram pada Desember 2012, harga tuna mencapai Rp 70 ribu per kilogram.

Pernah didata

Pemkot Bitung pernah mencoba mendata mereka kemudian membekali mereka dengan surat keterangan domisili seperti yang dilakukan di Davao terhadap pekerja WNI. Tapi ini memunculkan masalah. Saat di laut ditangkap aparat karena pelanggaran yanag mereka buat, mereka menunjukkan surat domisili dari kelurahan itu. ‘’Pemkot Bitung pun mendapat teguran dari Jakarta,’’ jelas Hardo.

Aturan keimigrasian tak membolehkan adanya pendataan pekerja ilegal itu. ‘’Lebih bagus didata, kita bisa mendapat retribusi dari mereka, seperti yang terjadi di Davao,’’ komentar Paniluas, soal keberadaan nelayan ilegal dari Filipina yang bekerja di kapal-kapal ini.

Tim Ekspedisi NKRI Subkorwil Minahasa dan Subkorwil Sangir meneliti keberadaan masyarakat Pisang Sapi ini. Menurut Pitoy, yang juga tenaga ahli Bidang Sosial Budaya Ekspedisi NKRI -- ekspedisi yang diprakarsai TNI --  penelitian terhadap keberadaan mereka dilakukan karena posisi strategis mereka sebagai orang-orang yang menetap dan bekerja di perbatasan. Juga, karena perrnikahan antara orang-orang Sangir dengan orang-orang Filipina sudah berlangsung sejak ratusan tahun dan diakui secara kultural.

‘’Etos kerja mereka yang tinggi telah ikut meningkatkan perekonomian Sulawesi Utara, terkhusus di sektor kelautan dan perikanan serta pelabuhan,’’ ujar Pitoy.

Masyarakat Pisang Sapi ini dianggap tidak ada, tapi kenyataannya ada. Kini, kata Pitoy, mereka dan keturunannya  mengalami krisis identitas kewarganegaraan. ‘’Penelitian ini diharapkan dapat mengeluarkan rekomendasi yang tepat dalam urusan administrasi kewarganegaraan dan migrasi lintas batas negara,’’ ujar Pitoy.

‘’Kita tidak tahu apa benar mereka orang Filipina atau malah orang Indonesia. Tidak bisa bahasa Indonesia bukan berarti lantas menyebut mereka sebagai bukan orang Indonesia, sebab banyak orang Indonesia yang tidak bisa bahasa Indonesia,’’ tutur Paniluas itu.

Keturunan dari orang-orang Sangir-Talaud yang lahir dan tinggal di Provinsi Davao del Fur, Filipina, banyak yang tak bisa berbahasa Indonesia. ‘’Mereka banyak yang datang dari Pulau Sarangani. Orang-orang Sangir-Talaud banyak yang beranak-pinak di Pulau Sarangani itu,’’ ujar Jon Makalupa, pengawas pantai di Pantai Manembo-nembo.

Jon tak menyinggung soal dirinya. Ia hanya menyebut pekerjaannya di kantor Syahbandar Bitung. Makalupa adalah bahasa Tagalog yang berarti duniawi. Beberapa kali Jon menyebut kepemilikan rumahnya di Manembo-nembo. ‘’Kita punya rumah di sini,’’ ujar Jon mengarahkan pandangan mukanya ke sebuah rumah tak jauh dari tempat ia berdiri.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement