REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Komisi III DPR RI menargetkan dapat menyelesaikan pembahasan Rancangan Undang-undang Kitap Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) pada akhir akhir tahun 2013.
"Kami optimistis dapat menyelesaikan pembahasan RUU KUHP pada akhir tahun ini. Saat ini DPR sudah menyetujui krangka besarnya," kata Anggota Komisi III DPR RI, Ahmad Yani, pada diskusi "Legislasi: RUU KUHP" di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Selasa.
Menurut Ahmad Yani, revisi UU KUHP yang merupakan induk dari aturan perundangan bidang hukum pidana sangat penting karena selama ini Indonesia belum memiliki satu kesatuan UU di bidang hukum pidana.
Saat ini, kata dia, delik hukum pidana masih tersebar di berbagai undang-undang sehingga perlu disatukan dalam satu kesatuan UU bidang hukum pidana.
Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini menambahkan, DPR sudah menyetujui kerangka besar revisi UU KUHP sehingga akan diketahui mana delik pidana yang menjadi prioritas dan tidak.
Yani juga menyoroti ada pasal-pasal UU KUHP yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi tapi diusulkan lagi oleh pemerintah dalam draft RUU KUHP seperti pasal mengenai makar serta pasal mengenai penghinaan terhadap kepala negara.
"Kami akan mencermati lagi pasal-pasal yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi ini," katanya.
Guna memperdalam persoalan sekaligus menyerap masukan dari para praktisi hukum di daerah, Komisi III DPR RI akan melakukan kunjungan kerja ke Provinsi Bali, pada 19-21 Juni 2009.
Ketika ditanya soal hukuman mati pada revisi UU KUHP, Yani menegaskan, Fraksi PPP sangat mendukung hukuman mati bagi pemerkosa, pengedar narkoba, teroris, pembunuh, dan koruptor.
Namun dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) yang diajukan oleh pemerintah masih ada kesan penghalusan bahasa mengenai pasal hukuman mati dengan menyebut sebagai pidana istimewa atau kekhususan tertentu.
"Penghalusan ini untuk mengakomodasi kelompok-kelompok yang anti terhadap hukuman mati," tambah Yani.
Demikian juga dengan hukum adat, menurut Yani, DPR RI menghargai hukum adat yang sudah ada dan berkembang selama ini.
Karena itu, DPR dan pemerintah tak boleh menghalangi-halangi hukum adat yang berlaku, karena sumber hukum Indonesia ada tiga, yaitu pidana, agama, dan adat.
Ia mencontohkan, soal pernikahan, dalam hukum agama, keyakinan dan adat pernikahan antara lelaki dan perempuan sesuai aturan yang berlaku, maka KUHP tak boleh mengintervensi hukum yang sudah berlaku tersebut.
"Kita harus menghargai hukum adat ini. KUHP tetap menghargai kearifan lokal, dan itu tak bisa ditempatkan dalam tindak pidana KUHP," katanya.