REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PP Muhammadiyah konsisten menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang Organisasi Masyarakat (RUU Ormas). DPR diimbau lebih memprioritaskan UU yang lebih dibutuhkan masyarakat ketimbang RUU Ormas yang dianggap hanya serpihan.
"Yang urgensi untuk dibahas itu UU KUHP dan KUHAP, kalau RUU Ormas hanya serpihan saja. kekosongan hukum," kata Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, Syaiful Sahri, dalam diskusi bertajuk "RUU Ormas Kok Bikin Cemas" di Warung Daun, Jakarta, Sabtu (29/6).
Syaiful menilai konsep pembentukan RUU Ormas sudah salah. Dilihat dari naskah akademisnya, RUU Ormas juga tidak hebat. Dari definisi ormas dalam RUU Ormas, bahkan dinilai Syaiful sudah salah.
Syaiful mengatakan, apa yang diatur dalam RUU Ormas telah tertuang dalam UU nomor 8 tahun 1985 tentang organisasi kemasyarakatan. UU itu telah ada sejak zaman orde baru, dan hingga sekarang masih bisa mengatur ormas-ormas yang ada di Indonesia. Meski hanya terdiri dari beberapa pasal saja, berbeda dengan RUU Ormas yang terdiri dari 88 pasal.
"RUU Ormas ini mengarah pada rezim perizinan. Kehilangan urgensinya, padahal dalam UUD 1945 sudah diatur kebebasan berserikat dan berkumpul,"ucapnya.
Karena itu, Syaiful menyebut RUU Ormas sangat naif. Diamati dari sikap DPR dan pemerintah yang segera ingin mengesahkan RUU tersebut, dikatakannya ada motif di balik RUU Ormas.
"Kecurigaannya ini pesanan dari aktor-aktor politik. Yang aktif itu hanya Kementerian Dalam Negeri saja," ujar dia.