REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selain organisasi masyarakat, akademisi dan peneliti politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Politik Indonesia (LIPI) juga menolak pengesahan RUU Ormas. Jika tetap disahkan, diperkirakan RUU Ormas akan memicu resistensi dari masyarakat dan berpotensi memecah ormas dalam kubu-kubu tertentu.
"Ormas terpecah dalam dua kubu, yakni ormas pelat merah yang diakui pemerintah dan ormas yang tidak diakui dan dianggap di luar sistem," kata Kepala Bidang Politik Nasional, Pusat Penelitian Politik LIPI Irine Hiraswari Gayatri, di Jakarta, Senin (1/7).
RUU Ormas, lanjut dia, juga akan menimbulkan suasana saling curiga antarberbagai kelompok masyarakat. Disusul potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat negara karena naskah RUU ormas yang dinilai multitafsir. Sifat multitafsir itu juga berpotensi menimbulkan penyalahgunaan dari kelompok atau organisasi yang menggunakan kekerasan, premanisme, dan intimidasi.
Karena itu, LIPI mengimbau DPR dan pemerintah untuk kembali membangun suasanan saling percaya antarpemerintah dan masyarakat. Juga menghentikan niat untuk mengawasi dan mencurigai masyarakat lewat RUU Ormas. "RUU Ormas harus dicabut atau ditarik. Karena tidak bermanfaat, tidak relevan, dan tidak diperlukan oleh bangsa Indonesia," ujar Irine.
Sebagai lembaga yang meneliti kebijakan pemerintah, LIPI menilai paradigma yang mendasari penyusunan RUU Ormas keliru. Dibangun berdasarkan kerangka berpikir yang cenderung sesat karena tidak mempercayai aktifitas masyarakat. Pemerintah dan DPR juga dinilai aneh ketika mencurigai penggunaan dana asing dalam menggunakan sumbangan dana ormas. Karena di pihak lain pemerintah membiarkan asing lewat koorporasi global menggerogoti, mengeksploitasi, bahkan menghancurkan perekonomian nasional.