REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Fenomena pecah kongsi bupati, wali kota, atau pun gubernur dengan wakilnya, seakan-akan sudah menjadi rahasia umum. Hal ini pun dinilai sebagai kelemahan paling mendasar dari pemilihan kepala daerah (pilkada) dalam satu paket.
Mendagri Gamawan Fauzi mengungkapkan, di era otonomi daerah, kemesraan hubungan antara kepala daerah dan wakilnya jarang yang bertahan lebih dari lima tahun. Benih-benih perpecahan mulai tampak di tengah keduanya menjalankan roda pemerintahan.
Begitu selesai menjabat satu periode, kebanyakan mereka memilih untuk berpisah. Tidak jarang pula yang kemudian memilih untuk saling “unjuk kekuatan” di ajang pilkada berikutnya.
Menurut catatan Kemendagri, sampai dengan Juli 2013, terdapat 466 daerah yang telah melaksanakan pilkada untuk kedua kalinya. Dari jumlah tersebut, hanya terdapat 39 kandidat (setara dengan 8,3 persen) yang mencalonkan diri kembali dengan pasangan yang sama.
“Ini menunjukkan, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam satu paket tidak menjamin hubungan kepemimpinan yang harmonis,” kata Gamawan. Karena itu, ia berpesan kepada para kepala daerah, baik gubernur maupun bupati dan wali kota, agar selalu menjaga hubungan baik selama menjalankan tugas. "Karena dengan cara itulah roda pemerintahan daerah dapat berjalan secara efektif,” ujarnya.