REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Saat ini proses pemasaran (marketing) dinilai masih banyak mengabaikan rambu-rambu dan etika syariah. Padahal, marketing merupakan ujung tombak suatu bisnis karena di sinilah produk dan jasa kebutuhan konsumen didesain, direncanakan, ditawarkan dan didistribusikan.
Sekretaris Jenderal Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), Syakir Sula mengatakan ada empat hal yang harus dipenuhi dalam marketing syariah, yakni bersifat Rabbaniyah atau tingkat keimanan tinggi, akhlak harus bagus (etis), tidak terlalu ekstrim (realistis) dan memanusiakan manusia (humanistis). “Dalam marketing, banyak sekali godaan sehingga keempat hal ini harus dipenuhi,” ujarnya kepada ROL, Senin (29/7).
Marketing, kata Syakir, tidak sebatas menjual produk barang atau jasa. “Marketing suatu yang sangat komprehensif sehingga perlu pentahapan yang ditemani prinsip-psinsip syariah,” ucapnya.
Sudah seharusnya marketing dilakukan sesuai koridor syariah. “Tidak boleh dilakukan praktik-praktik penyimpangan (marketing bahlul) karena bisnis tidak akan berjalan lama dan yang pasti tidak akan berkah,” ungkapya.
Pengamat Ekonomi Syariah, Syafii Antonio mengatakan berdasarkan sabda Rasululullah SAW, bisnis yang baik adalah bisnis yang dilakukan oleh pengusaha yang apabila berbicara tidak berbohong, ketika berjanji ditepati, saat diamanahi tidak khianat, ketika menjual tidak membesar-besarkan, saat membeli tidak menghina barang orang lain, jikalau punya kewajiban tidak memperlambat menunaikannya dan jika memiliki piutang tidak menyulitkan orang yang berutang. “Inilah definisi marketing syariah dari Baginda Rasul yang amat komprehensif sejak 15 abad lalu,” kata dia.
Syafii menyebutkan marketing proyek lebih sulit dibanding marketing yang menawarkan produk atau jasa. Pasalnya di sana rentan terhadap suap untuk meloloskan proyek tersebut. Meski saat ini praktik tersebut banyak terjadi di lapangan, namun Syafii mengimbau para pelaku marketing jangan mendekati hal-hal yang melenceng dari nilai kesyariahan.
“Kita harus percaya bahwa bisnis bersih pasti akan memberikan keuntungan meski pesaing banyak menggunakan cara tidak halal. Kita harus yakin bahwa Allah SWT akan memberi rezeki pada marketing spiritual,” terang Syafii.
Banyaknya praktik menyimpang membuat posisi Indonesia tidak ramah bisnis. Syafii mengatakan Indonesia berada di peringkat 122 dari sekitar 170 negara dalam hal percepatan mengajukan bisnis. sementara urutan pertama diduduki Malaysia. “Di Indonesia terlalu banyak praktik bahlul dalam proses perizinan , jadi tidak terlalu ramah investasi,” ujarnya. Apalagi jika praktik nakal itu ditambah birokrasi berbelit sehingga menyulitkan investor menanamkan investasinya di Indonesia.