Oleh Selamat Ginting (Wartawan Senior Republika)
REPUBLIKA.CO.ID, Pada 1936, Achmad Aidit meminta ijin ayahnya untuk melanjutkan pendidikan di sekolah menengah di Jakarta. Saat itu, dikenal dengan nama Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), lantaran belum ada sekolah setara itu di Belitung.
Namun untuk merantau ke Jakarta, menurut Sobron Aidit dalam bukunya, Aidit: Abang, Sahabat, dan Guru di Masa Pergolakan, ada empat syarat yang harus dipenuhi abangnya untuk diizinkan merantau, yakni: bisa memasak sendiri, bisa mencuci pakaian sendiri, sudah disunat, dan sudah khatam mengaji. Keempat syarat itu sudah dipenuhi Achmad Aidit.
Setiba di Jakarta, pendaftaran MULO sudah ditutup. Achmad Aidit akhirnya menyiasati dengan sekolah di Middestand Handel School (MHS), sebuah sekolah dagang di Jalan Sabang, Jakarta Pusat.
Di situ, bakat kepemimpinan dan idealismenya terlihat menonjol di antara kawan sebayanya. Ia pun sudah menjadi pemimpin demonstrasi. Mengajak kawan-kawan sekolahnya bolos massal untuk mengantar jenazah pejuang kemerdekaan Muhammad Husni Thamrin (MHT). Tokoh yang sangat dihormati warga Betawi.
Karena terlalu aktif berorganisasi dan menjadi aktivis di luar sekolah, Achmad Aidit tidak pernah menyelesaikan pendidikan formalnya di MHS. Ia memperdalam sejumlah bahasa asing dan membaca buku-buku tokoh dunia. Buku-buku itu ia dapatkan dari temannya, pedagang di kawasan Pasar Baru.
Ia terpaksa berjualan karena kiriman uang dari Belitung sudah tidak ada lagi. Saat itu, Jepang sudah masuk Indonesia. Achmad pun membuat biro pemasaran iklan dan langganan surat kabar Antara serta berjualan buku dan majalah. Sampai akhirnya berkenalan dengan para aktivis politik, seperti Adam Malik dan Chaerul Saleh.
Minatnya terhadap politik mengantarkannya bergabung dengan Persatuan Timur Muda atau Pertimu. Perkumpulan ini dimotori Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) di bawah pimpinan Amir Syariffudin Harahap dan Dokter Ahmad Kapau Gani. Ia kemudian menjadi ketua umum Pertimu, bahkan menjadi sekretaris pribadi Muhammad Hatta.
Pada masa itulah Achmad Aidit memutuskan berganti nama. Saat itu, terlalu banyak yang dipanggil dengan sebutan Achmad sehingga membingungkan sebagian yang lain.
Dia memilih nama Dipa Nusantara yang disingkat menjadi DN. Menurut adiknya, pergantian nama itu lebih dipicu perhitungan politik abangnya. "Dia seperti ingin menyembunyikan identitas aslinya, mungkin mulai membaca risiko politik," kata Murad Aidit.
Karena itu, muncul rumor bahwa DN Aidit berdarah Minangkabau dan DN di depan namanya adalah singkatan Djafar Nawawi. Bahkan, ada yang menyebut-nyebut bahwa DN Aidit adalah anak Medan.
Awalnya, sang ayah, Abdullah Aidit, menolak perubahan nama anaknya itu sebab nama Achmad Aidit sudah tercetak di slip gajinya sebagai putra sulung keluarga itu. Akhirnya disepakati, nama DN Aidit baru akan dipakai jika sudah ada pengesahan dari notaris dan kantor Burgelijske Stand (catatan sipil).
Walau telah berganti nama, tokoh politik senior Muhammad Hatta tetap memanggilnya dengan sebutan ‘Achmad atau Amad’. Kelak muncul legenda dari seorang DN Aidit yang menjadi orang nomor satu dalam kepengurusan Partai Komunis Indonesia (PKI). Sebuah partai yang akhirnya dilarang keberadaannya di Indonesia.
Ia tetap menjadi tokoh politik merah yang misterius hingga kini. Seperti jelajah sejarah yang tak pernah berhenti. Dia akan tetap menjadi koma, sebelum benar-benar menjadi titik.