Jumat 30 Aug 2013 13:09 WIB
Kisah WNI Belajar Bahasa Indonesia

Nasib, Anak WNI tak Bisa Bahasa Indonesia

Aku cinta Bahasa Indonesia.
Aku cinta Bahasa Indonesia.

Oleh Erdy Nasrul (Wartawan Republika)

REPUBLIKA.CO.ID,Reymark Mendome Arban adalah siswa SMA Indonesia Davao (SID), Filipina Selatan. Ayahnya bernama Deamento Mendome. Ibunya adalah Tisi Arbaan. Kakek mereka berasal dari sekitar Kepulauan Sangihe Talaud, Sulawesi Utara.

Dengan trah itu, darah Indonesia mengalir dalam tubuhnya. Padahal, Reymark sama sekali belum pernah menginjakkan kaki di nusantara. Hanya, remaja berkulit putih itu kesulitan saat hendak berbahasa Indonesia.

Padamulanya, dia berbicara dengan bahasa Visaya, bahasa yang sejumlah kosakatanya mirip bahasa jawa atau melayu. Lima dalam bahasa Indonesia disebut limo. enam disebut anim. Tujuh disebut pitu.

Tak lupa, dia juga mampu berbicara Bahasa Sangihe, salah satu bahasa daerah Sulawesi Utara. Bahasa Inggris sedikit dikuasainya. Ketika itu 2011, tahun pertama kali baginya menginjakkan kaki di Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Davao. Dia masuk dan menjadi murid Sekolah Indonesia Davao (SID).

Reymark bingung, karena sama sekali tidak bisa berbicara bahasa Indonesia. Awalnya dia mengucapkan selamat pagi, apa kabar. Sudah. Tidak lebih. Setiap hari kemudian dia mengikuti program kursus Bahasa Indonesia di SID. Dia kemudian menginap di Asrama SID, sekitar Kompleks KJRI Davao.

Setelah beberapa pekan mengikuti kursus, mulailah Reymark merangkai kata. "Kamu sudah makan?" jelasnya. Itupun mengucapkannya terbata-bata. Namun demikian semangatnya untuk bisa berbahasa Indonesia sangat besar.

Dia mulai menghimpun kosakata berbahasa Indonesia. Awalnya adalah kosakata yang dilihat mata, sekitar tempat tinggalnya. Ada bangku, meja, peralatan sekolah, taman, dan lainnya.

Dia juga memanfaatkan tamu dari Indonesia untuk berdialog dengan bahasa Indonesia. "Saya beranikan diri. Salah sedikit tidak apa - apa," imbuhnya menggelengkan kepala sambil tersenyum.

Jika ada kosakata yang tidak diketahuinya dalam bahasa Indonesia akan dia tanyakan kepada tamu yang disambutnya dengan bahasa Inggris. Dia mempelajari Bahasa Indonesia menggunakan direct method atau metode langsung dalam percakapan sehari-hari. Semangatnya adalah harus bisa berbahasa Indonesia.

Awalnya pasti tidak sempurna. Lambat laun dia semakin mahir berkata. Bahkan saat diwawancarai Republika, Jumat (23/8), dia sudah lancar berbahasa Indonesia.

Satu pemikiran menjadi penguat Reymark untuk berbahasa Indonesia. Ini adalah bahasa Ibu Pertiwi. Rasanya tidak enak sekali jika menjadi orang Indonesia, namun tidak bisa berbahasa Indonesia.

Keluarga Reymark bukan kemarin sore datang menginjak tanah bekas jajahan Amerika Serikat itu. Sekitar 1970-an, pendahulu Reymark mendatangi Pulau Mindanao, Filipina Selatan. Pekerjaannya nelayan. Target tangkapannya yang paling utama adalah ikan tuna yang berada si Perairan Pasifik.

Harga ikan Salmon, menurutnya, ketika itu bisa sepuluh kali lipat lebih mahal di Filipina. Pelabuhan General Santos dikenal memiliki tempat pengolahan ikan terbaik. Alasan ini membuat nelayan Indonesia di Sulawesi Utara banyak berdatangan ke Filipina Selatan.

Kini harga ikan Salmon di Filipina Selatan dan Indonesia tidak berbeda jauh. Tidak ada lagi perpindahan penduduk seperti yang dilakukan nelayan Indonesia pada 1970-an.

Ayah Reymark, Deamento Mendome, kini tinggal di Pulau Balut, selatan Davao. Dia bekerja sebagai nelayan, seperti kakeknya dulu. Pekerjaannya akan mengalami hambatan saat gelombang air laut meninggi dan bergoyang hebat. "Apalagi jika ada badai. Kami kesulitan bekerja," jelasnya. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement