Dalam upaya menekan konflik di Tanah Air, Kementerian Sosial (Kemensos) menggulirkan program keserasian sosial. Sejauhmana efektivitas program ini?
Sebuah pertemuan adat digelar di Tatanga, Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng), Selasa (20/8). Pertemuan ini bertujuan untuk meredam konflik sosial di masyarakat dengan mengembalikan peran hukum dan sanksi adat lewat Deklarasi Kearifan Lokal.
Menteri Sosial (Mensos) Salim Segaf al-Jufri yang turut hadir dalam acara ini menyambut baik Deklarasi Kearifan Lokal yang disepakati tokoh adat, agama, pemuda, pejabat pemerintah, dan perwakilan masyarakat. “Saat ini diperlukan local wisdom (kearifan lokal). Negeri ini akan maju dan sukses kalau kita bergandengan tanpa memandang suku, bahasa, agama, atau golongan,” ujarnya.
Di Tatanga, Mensos juga memberikan bantuan dan rehabilitasi sosial pascakonflik kepada Pemerintah Provinsi Sulteng sebesar Rp 7 miliar lebih. Pemberian bantuan ini merupakan salah satu upaya Kemensos dalam menciptakan perdamaian melalui program yang disebut Keserasian Sosial.
Dalam program ini, Salim menjelaskan, Kemensos ingin menciptakan pelopor-pelopor perdamaian. Ia tidak ingin penyelesaian konflik itu dilakukan dari luar. Kemensos hanya memberikan arahan dan bimbingan, namun yang mampu menyelesaikan konflik adalah masyarakat sendiri.
“Itulah mengapa kita ingin di daerah-daerah muncul para pelopor perdamaian. Artinya, jika suatu saat ada yang emosi, pelopor inilah yang akan menciptakan suasana cooling down (tenang),” terangnya.
Untuk menangani konflik sosial yang terjadi, Pemerintah Pusat juga telah menerbitkan Undang-Undang No 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Semangat UU No 7/2012 ini dinilai lebih menekankan sisi pencegahan konflik ketimbang penanganan konflik.
Tak cukup dengan UU, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono bahkan mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No 2 Tahun 2013 tentang Penanganan Gangguan Keamanan dalam Negeri. Presiden secara tegas meminta seluruh aparatur pemerintah dan aparat keamanan agar mengambil langkah cepat, tepat, tegas, dan proporsional untuk menghentikan segala bentuk tindak kekerasan akibat konflik sosial.
Walau demikian, penindakan ini, menurut inpres tersebut, dilakukan dengan tetap mengedepankan aspek hukum, menghormati norma dan adat istiadat setempat, serta menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia (HAM).
Mencegah Konflik PR Bersama
Di seluruh Indonesia, dari Sabang hingga Merauke, terdapat 184 titik (daerah) yang rawan konflik sosial. Untuk mengantisipasi agar tidak terjadi letusan di titik-titik rawan itu, Kementerian Sosial (Kemensos) membuat program Keserasian Sosial. Sebuah program yang dicanangkan untuk memunculkan pelopor-pelopor perdamaian.
Kemensos menyiapkan dana sebesar Rp 109 juta untuk tiap desa. Uang ini digunakan untuk menjalankan sejumlah program pemberdayaan masyarakat. “Tahun ini, program keserasian sosial kita siapkan untuk 500 titik di Indonesia,” kata Menteri Sosial Salim Segaf al-Jufri saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis pekan lalu.
Menurut Salim, penyebab konflik di Indonesia bermacam-macam. Ada konflik yang berkaitan dengan pemilihan kepala daerah (pemilukada), konflik antarkampung, hingga tawuran pelajar atau mahasiswa. Cara penyelesaian tiap kasus ini berbeda satu dengan lainnya. Di samping itu, kata dia, diperlukan law enforcement (penegakan hukum) yang tegas agar orang tidak mudah melakukan kekerasan.
Beberapa waktu lalu, Anda melakukan kunjungan kerja ke Palu, Sulawesi Tengah. Apa sebenarnya program Anda di sana?
Pertama, kami (Kementerian Sosial) meresmikan bedah kampung di Komunitas Adat Terpencil (KAT). Kemudian, menjalankan program rehabilitasi konflik sosial yang terjadi di masyarakat. Di sana (Palu) ada deklarasi untuk kembali kepada kearifan lokal. Selain itu, kami juga melakukan pertemuan dengan masyarakat, berdialog dengan berbagai pihak, termasuk dengan pemuda.
Di Palu sering terjadi konflik sosial, apa pendapat Anda?
Sebenarnya, titik-titik konflik itu tidak hanya di Palu. Terdapat 184 titik di berbagai daerah yang kemungkinan besar terjadi konflik sosial. Kita berharap dari tahun ke tahun (titik-titik konflik ini) berkurang. Ini merupakan pekerjaan rumah (PR) kita bersama. Kemudian, dari sisi ekonomi, peningkatan ekonomi Sulawesi Tengah cukup tinggi, nomor tiga terbaik di Indonesia. Ini mengherankan, ekonominya bagus, pengangguran berkurang, kok malah terjadi konflik. Setelah saya pahami, kemungkinan ada provokatornya. Setiap terjadi konflik, orang itu ada. Tapi, saya dengar orang itu sudah ditahan. Mudah-mudahan otaknya (aktor intelektual) atau orang-orang di belakang konflik itu ditangkap semua.
Dalam hal ini, apa yang dilakukan oleh Kemensos?
Terkait dengan rehabilitasi konflik, Kemensos mempunyai program yang disebut Keserasian Sosial. Dalam program ini, kita akan memunculkan yang namanya pelopor-pelopor perdamaian. Kita tidak ingin penyelesaian konflik itu dari luar. Kemensos hanya memberikan arahan dan bimbingan. Tapi, yang mampu menyelesaikan konflik adalah masyarakat itu sendiri. Itulah mengapa kita ingin di daerah-daerah itu muncul pelopor perdamaian. Artinya, jika suatu saat ada yang emosi, para pelopor inilah yang akan menciptakan suasana cooling down (tenang).
Sejauhmana efektivitas program ini dalam meminimalkan potensi terjadinya konflik?
Sangat bagus dan efektif. Pertanyaannya begini, mengapa terjadi konflik? Karena, mereka tidak saling mengenal. Pun kalau saling mengenal, hanya tahu nama. Mereka tidak pernah duduk bersama dan tidak pernah saling memahami. Itulah perlunya dialog. Kita (Kemensos) tidak mengintervensi. Yang kita inginkan adalah mereka dapat menyelesaikan sendiri masalah-masalah yang ada. Kita juga menyarankan adanya early warning system (sistem peringatan dini) di tiap daerah yang rawan konflik sosial. Untuk itu, kita mengikutsertakan kaum intelektual dalam upaya mendeteksi dan mengantisipasi konflik.
Apa saja kriteria daerah yang jadi sasaran program keserasian sosial? Dan, bagaimana menentukannya?
Pertama, daerah yang sering terjadi konflik. Kalau daerah itu aman, program ini tidak diperlukan. Ada juga daerah yang sedang terjadi konflik atau daerah yang berpotensi terjadi konflik.
Berapa anggaran program ini?
Anggaran kita untuk bencana alam dan bencana sosial itu sekitar Rp 400 miliar. Untuk bencana alam yang mengakibatkan korban fisik itu sekitar Rp 300 miliar. Sisanya untuk bencana sosial, termasuk rehabilitasi konflik sosial, sebesar Rp 100 miliar. Jadi, kalau satu desa itu anggarannya Rp 109 juta, dikalikan 500 desa jadi sekitar Rp 50 miliar-Rp 60 miliar.
Menurut Anda, bagaimana cara menghilangkan konflik sosial di Tanah Air?
Pertama, kita lihat dulu konfliknya soal apa. Sebab, konflik itu bermacam-macam. Ada konflik yang berkaitan dengan pemilihan kepala daerah (pemilukada). Pemimpinnya yang harus menciptakan suasana cooling down. Jangan sampai dia senyum sana senyum sini, tapi menghasut pengikutnya untuk marah. Kemudian, ada konflik antarkampung. Dalam hal ini, tokoh-tokohnya harus turun. Tawuran pelajar atau mahasiswa juga termasuk konflik. Jadi, setiap kasus diselesaikan dengan cara yang berbeda-beda. Disamping itu, perlu juga yang namanya law enforcement (penegakan hukum) agar orang tidak main-main karena ada sanksi tegas. Kita hidup di negara hukum, hukum harus ditegakkan.