REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) akan menarik dekstrometorfan dalam bentuk tunggal (sediaan tunggal) yang beredar di masyarakat.
Penarikan tersebut dikarenakan penyalahgunaan obat yang dikenal sebagai sebagai obat batuk ini terus meningkat.
Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza BPOM Retno Tyas Utami mengatakan pada Juni 2014 mendatang dipastikan semua dekstrometorfan sediaan tunggal tidak lagi beredar di masyarakat.
"Yang diizinkan beredar adalah dekstrometorfan yang sudah dikombinasikan dengan zat lain," kata Retno pada acara media gathering di kantor BPOM, Selasa (1/10).
Retno mengungkapkan desktrometorfan merupakan obat batuk untuk batuk kering (antitusif) yang bekerja dengan menekan pusat batuk di susunan saraf pusat. Bentuk dekstrometorfan dapat berupa tablet maupun sirup.
Mengkonsumsi obat batuk ini harus menggunakan resep dokter. Berdasarkan SK Menteri Kesehatan No 9548/A/SK/71 tahun 1971 batas penggunaan dekstrometorfan sebagi obat tidak boleh lebih dari 16 mg.
Obat ini tidak termasuk obat analgesic (kelas obat yang dirancang untuk meringankan nyeri tanpa menyebabkan hilangnya kesadaran) dan tidak bersifat adiktif.
Kadar racun (toksisitas) dekstrometorfan sangat rendah namun jika dikonsumsi dengan dosis yang sangat tinggi dapat menimbulkan depresi sistem syaraf pusat. "Efek ini yang banyak disalahgunakan oleh pengguna," kata Retno.
Retno menuturkan penyalahguna dekstrometorfan rata-rata berasal dari kalangan remaja. Harga yang murah, mudah didapat, dan iming-iming efeknya oleh pedagang, kata Retno, membuat dekstrometorfan laku dikonsumsi remaja.
"Satu tablet harganya hanya Rp 50. Sepuluh tablet Rp 500. Beli Rp 1000 udah dapat banyak," kata Retno.
Retno mengatakan jika dikonsumsi tidak sesuai resep dokter maka dekstrometorfan akan menyebabkan stimulasi ringan seperti perasaan senang gembira, euphoria, menghilangkan kecemasan, halusinasi, gangguan persepsi virtual, gangguan fungsi otak, hilangnya koordinasi motorik, dan dissosiatif sedative (gangguan jiwa yang berasal dari akibat sampingan dari trauma). Dibeberapa kasus, penyalahgunaan dekstrometorfan menyebabkan kematian. Bahkan sempat menjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) di Jawa Barat.
Mengingat penyalahgunaannnya, Retno menuturkan, di beberapa negara mulai mempertimbangkan pengawasan dekstrometorfan lebih ketat.
Swedia misalnya, sudah mengkatagorikan dekstrometorfan sebagai narkotika. Di Prancis dan Singapura pembelian desktrometorfan harus melalui resep dokter dan supervisi dari farmasi.
Menurut Retno BPOM sejak 2010 hingga 2013 telah melakukan kajian izin edar obat yang mengandung desktrofan tunggal. BPOM memulai kajian dengan mengamati kasus penyalahgunaan dekstrometorfan bentuk tablet dari media massa.
Kemudian menelusuri penyimpangan penyaluran pada sarana distribusi desktrometorfan dari produsen hingga kemudian mengeluarkan rekomendasi sebagai tindak lanjut yakni penerbitan SK Kepala BPOM nomor HK.04.1.35.07.13.3855 tahun 2013 tanggal 24 Juli 2013 tentang pembatalan persetujuan nomor izin edar obat yang mengandung dekstrometorfan tunggal.
"Kami audit industrinya, produsennya, hingga distribusinya. Ternyata banyak produsen yang tidak mengetahui alur distribusi dekstrometorfan yang mereka produksi. Bahkan ada yang mendistribusikannya pada perseorangan bukan ke toko obat," kata Retno.
Retno mengatakan BPOM sudah melakukan sosisalisasi kepada produsen obat agar segera menarik produksi dekstrometorfan sediaan tunggal yang sudah beredar dan secara berkala melaporkan tiap bulan jumlah bahan baku, bahan pengemas, dan obat jadi termasuk sediaan kombinasi kepada BPOM.
Juga melaporkan jumlah bahan baku, bahan pengemas, produk antara, produk ruahan, dan produk jadi obat yang mengandung dekstrometorfan sediaan tunggal serta hasil penarikan dan pemusnahan selambat-lambatnya pada 30 Juni 2014 kepada BPOM.
Jika setelah 30 Juni 2014 produsen obat masih memproduksi dan mendistribusikan dekstrometorfan sediaan tunggal maka akan ada sanksi administratif. "Pada record akan dicatat sebagai produsen negatif," kata Retno.
Retno menambahkan sudah ada 130 nomor izin edar obat dekstrometorfan tunggal dari 52 produsen yang dibatalkan. Para produsen tersebut, kata Retno, masih diperbolehkan memproduksi atau menjual dekstrometorfan hanya saja yang sudah dikombonasikan dengan obat lain.
"Ini bukan preseden buruk bagi industri farmasi. Kami hanya membatasi produk yang disalahgunakan saja karena itu ranah kami. Kalau penindakan peyalahguna dekstrometorfan bukan ranah kami. Itu ranahnya polisi dan BNN," katanya.