REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Buruh migran Indonesia membutuhkan mekanisme perlindungan yang cepat, tepat dan mudah dijangkau. Terutama dalam menghadapi berbagai persoalan, termasuk upaya memperoleh ganti rugi atas musibah yang menimpa para buruh migran.
Menurut Direktur Yayasan TIFA Irman G Lanti salah satu hambatan yang menjadikan perlindungan bagi TKI belum maksimal adalah tersentralisasinya proses tersebut di Jakarta. Akibatnya, TKI dan keluarganya sulit untuk mengakses mekanisme perlindungan yang dibangun pemerintah.
“Untuk itu, diusulkan adanya desentralisasi mekanisme perlindungan TKI dengan memanfaatkan Dinas Tenaga Kerja yang ada di setiap kabupaten/kota,” katanya, Selasa (8/10).
Ia menilai mekanisme perlindungan buruh migran belum maksimal. Sebab, banyak buruh migran kesulitan mengakses mekanisme perlindungan karena terkendala lokasi dan biaya yang cukup besar untuk mengurus kasus ke Jakarta.
Selain itu, sentralisasi mekanisme juga menjadikan informasi yang mereka dapat menjadi minim dan terbatas karena tidak tersedia di daerah asalnya.
Menurut Irman, desentralisasi mekanisme perlindungan buruh migran akan menjadikan peran pemerintah daerah lebih maksimal sebagai garda terdepan dalam melindungi warganya yang bekerja di luar negeri.
Tak hanya itu, hal tersebut juga dapat dimanfaatkan untuk memastikan hak-hak yang diterima keluarganya terjamin apabila terjadi permasalahan di kemudian hari.