REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aliansi untuk Desa Sejahtera melansir di tengah turunnya angka penderita kelaparan kronis di dunia, Indonesia justru mengalami kondisi darurat pangan. Hal ini ditandai dengan meningkatnya impor pangan, menurunnya jumlah produsen pangan skala kecil, menurunnya luasan lahan produksi pangan, menurunnya produksi pangan, meningkatnya jumlah penduduk, dan tidak adanya kebijakan nasional untuk membangun kedaulatan pangan serta memberikan perlindungan bagi para produsen pangan skala kecil.
Koordinator Aliansi untuk Desa Sejahtera Tejo Wahyu Jatmiko mengatakan, negara tidak serius bahkan abai untuk memenuhi kewajiban hak atas pangan rakyatnya. “Kunci untuk mengatasi kelaparan dan pemenuhan gizi bangsa terletak pada kebijakan untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan meningkatkan ketersediaan pangan di dalam negeri, dan paling nyata terwujud dalam anggaran pangan yang membangun kemandirian pangan kita, bukan mengandalkan pangan impor yang jumlah dan nilainya semakin besar,” kata dia di suatu diskusi di Jakarta, Senin (14/10).
Semua, lanjut Tejo, harus berbasis pada lokalitas dan produsen pangan skala kecil harus jelas. Jumlah penduduk kekurangan gizi di Indonesia berkurang dari sekitar 20 persen dari total jumlah penduduk pada dekade 1990-an menjadi 8,6 persen pada tahun 2012, tetapi tidak dilakukan dengan menggunakan potensi pangan negeri sendiri. “Pencapaian ini dapat dikatakan semu, karena bertumpu pada pangan impor yang rentan gejolak pangan dunia, harga naik akan dengan mudah menghalangi akses masyarakat terhadap pangan,” jelas dia.
Padahal, ujar Tejo, potensi pangan lokal Indonesia ada, tetapi diabaikan. Meskipun Indonesia telah memiliki UU Pangan yang berdasarkan pada hak atas pangan, tetapi belum adanya peraturan pemerintah, menyebabkan UU ini belum dapat dijalankan.