REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wacana pembentukan Detasemen Khusus (Densus) Antikorupsi mencuat manakala Komjen Sutarman diuji kelayakan dan kepatutannya oleh DPR RI sebagai Kapolri, Kamis (17/10).
Mayoritas anggota Komisi III DPR menyarankan agar Polri memiliki Densus yang juga mampu memberantas korupsi. Sutarman pun menyambut hangat usulan tersebut dengan alasan agar proses penanganan kasus korupsi dapat cepat penyelesaiannya.
Namun pendapat berbeda dikemukan oleh pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar. Guru Besar di Universitas Indonesia (UI) ini mengatakan, bila ide pembentukan Densus Antikorupsi ini terwujud justru akan berpotensi menghadirkan masalah baru.
“Kita kan sudah punya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) nanti bisa terjadi benturan dan konflik kepentingan persis seperti waktu kasus korupsi Simulator SIM,” ujar Bambang dihubungi Republika, Jumat (18/10).
Bambang mengatakan, sedikit ada keraguan mengenai eksistensi dari Densus Antikorupsi bila benar-benar berdiri. Bukan tak mungkin, kata dia, konflik yang dikhawatirkan itu justru akan menciptakan kemunduran bagi KPK yang saat ini sedang ganas-ganasnya menggasak para koruptor.
Lagi pula, menurutnya, Polri sudah memiliki wewenang yang cukup untuk melaksanakan tindak pemberantasan korupsi. “Juga kan ada jaksa, mereka punya wewenang untuk itu, maksimalkan saja yang ada,” ujar dia.
Menyoal keluhan kepolisian terkait kelambanan Polri menangani perkara korupsi karena lamanya proses kelengkapan berkas kasus akibat sering bolak-balik dari kejaksaan, Bambang memiliki tanggapan.
Menurut dia, Polri justru seharusnya meningkatkan profesionalisme dan kemampuan penyidik agar seluruh berkas suatu kasus lengkap, sehingga kuat di pengadilan.
“Kejaksaan juga pasti punya pertimbangan kenapa bisa bolak-balik, justru polisi harus semaki terpacu untuk menyelesaikan berkas-berkas suatu perkara korupsi dengan cepat,” kata dia.