REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Saat ini, jumlah organisasi kemasyarakatan (ormas) di Indonesia yang tercatat di Kementerian Dalam Negeri mencapai 130 ribu lebih. Jenis dan bentuknya pun bermaca-macam. Sebut saja yayasan, perhimpunan, lembaga swadaya masyarakat (LSM), asosiasi, lembaga kajian, dan lain sebagainya.
Akan tetapi, publik harus menyadari, sebagian dari ormas tersebut ada yang telah berubah fungsi menjadi alat diplomasi internasional. “Bahkan, yang lebih ekstremnya, mereka dapat menjadi instrumen bagi negara besar untuk menguasai negara-negara lain,” kata Kepala Subdirektorat Ormas Kemendagri, Bahtiar, Ahad (27/10).
Bagaimana cara kerjanya? Pertama, jelas Bahtiar, negara-negara kuat membangun jaringan ormas yang tersebar di seluruh negara dunia lewat berbagai program. Mereka kemudian membungkus aktivitas jaringannya ini dengan kegiatan sosial kemanusiaan, isu demokratisasi, hak asasi manusia (HAM), juga lingkungan hidup.
Di antara ormas tadi, kata Bahtiar, ada yang dikomandoi langsung oleh orang asing, ada pula yang digerakkan oleh warga negara setempat, termasuk di Indonesia (WNI). Selanjutnya, mereka membangun lagi sel-sel jaringannya lewat kemitraan dan pembinaan ormas/LSM lokal di negara yang bersangkutan.
Tanpa sadar, kata Bahtiar lagi, ormas/LSM lokal yang mereka bina tersebut tidak sadar telah diperalat untuk memuluskan kepentingan asing. “Kebetulan tema-tema yang mereka perjuangkan sama. Karena itulah, UU Ormas No 17/2013 hadir untuk mendorong penguatan wawasan kebangsaan ormas-ormas di Indonesia. Bukan untuk mengebiri mereka, ” tuturnya.
Informasi dari Bahtiar ini tentunya kembali mengingatkan publik pada pernyataan mantan Staf Ahli Menteri Pertahanan Bidang Keamanan, Mayjen TNI Hartind Asrin, beberapa waktu lalu. Kala itu, ia mengatakan agen atau intelijen asing yang berhasil masuk ke Indonesia memiliki cover story yang beragam. “Di antara mereka ada yang bekerja sebagai aktivis LSM/Ormas, peneliti, juga wartawan,” ujar Hartind.