REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terdakwa suap pengurusan kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian Ahmad Fathanah menilai tuntutan Komisi Pemberantasan Korupsi terhadapnya tidak rasional. KPK menjatuhkan hukuman 17 tahun dan 6 bulan penjara dengan denda Rp2 miliar terhadapnya tidak rasional.
"Tampak kelemahan penuntut umum yang sembrono dan semena-mena serta tidak mempertimbangkan fakta di persidangan sehingga saya dituntut hukuman tinggi dan tidak rasional," kata Fathanah saat membacakan nota pembelaan (pledoi) dalam sidang di pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (28/10).
Fathanah menyatakan bahkan ia pernah diancam oleh penyidik KPK Novel Baswedan. "Bermula saat saya ditangkap dan dibawa ke KPK, penyidik Novel Baswedan mengancam akan memiskinkan saya kalau tidak kooperatif," tuturnya,
"Saat persidangan jaksa Muhibuddin mengutip ayat Al Quran yang artinya jangan mengambil hak orang lain," ungkap Fathanah yang membacakan pledoinya dengan berdiri dan sedikit terisak.
Tak hanya itu, Fathanah dan tim pengacaranya berupaya membeberkan sejumlah kecerobohan jaksa.
"Jaksa ceroboh, sama sekali tidak bisa membuktikan bahwa saya sebagai penyelenggara negara dan hanya mampu menyebutkan bahwa saya sebagai sahabat Luthfi Hasan Ishaaq dan saya menerima uang," ujarnya.
"Jadi sejak penyidikan saya adalah wirawasta yang tidak termasuk penyelenggara negara seperti dalam tuntutan penuntut umum, artinya 'error in subject' bila saya disebut sebagai penyelenggara negara," tutur Fathanah.
Fathanah, dalam pernyataannya, juga meyakini bahwa hasil harta kekayaan yang diduga didapat dari tindak pidana korupsi sebesar Rp36,4 miliar seperti yang disebutkan jaksa tidak bisa dibuktikan.
"Kemudian menyebutkan adanya 'trading in influence' dalam tuntutan, padahal sejak semula jaksa tidak menyebutkannya dalam dakwaan. Jadi keliru untuk mengatakan bahwa saya menggunakan jabatan publik demi keuntungan pribadi padahal penerapan 'trading in influence' tidak pernah di-juncto-kan dalam dakwaan penuntut umum," jelas Fathanah.
Kekeliruan terakhir yang disebutkan Fathanah adalah surat tuntutan jaksa hanya berupa salinan tuntutan surat untuk pihak lain yaitu terpindana kasus Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID), Wa Ode Nurhayati.
"Nomor surat tuntutan hanyalah berupa 'copy paste' dari tuntutan orang lain yaitu Wa Ode Nurhayati. Saya adalah Ahmad Fathanah alias Olong, bukan Wa Ode Nurhayati, saya berharap agar jaksa lebih memperhatikan profesionalisme."
Fathanah tidak banyak menjabarkan mengenai tindak pidana korupsi yang dituduhkan kepadanya. Ia ebih banyak berupaya meyakinkan bahwa harta yang ia miliki berasal dari perbuatan yang tidak melanggar hukum.
"Aset saya didapat secara legal, sehingga tidak ada kaitan dengan TPPU yang dituduhkan ke saya. Saya minta agar aset hasil jerih payah saya segera dikembalikan karena tidak ada hubungan pribadi saya dengan tindak pidana korups yang digembar-gemborkan. Ini adalah pembunuhan karakter, fitnah yang melampaui batas," tandas Fathanah.