REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Partai oposisi Turki Partai Rakyat Republik (CHP) menegaskan pihaknya akan berupaya sekuat mungkin untuk melarang anggota parlemen wanita dari Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) mengenakan jilbab atau penutup kepala di Parlemen, Kamis mendatang.
"Kami tidak akan membiarkan ini terjadi. Kami akan melindungi Parlemen. Kami akan melindungi tradisi dan kebiasaan Parlemen. CHP akan melakukan segala upaya, menggunakan semua wewenang Parlemen sesuai dengan peraturan," kata Deputy Chairman CHP, Faruk Loğoğlu, Senin.
Dia juga mengatakan dalam kesempatan terpisah kepada Today's Zaman bahwa semua lembaga mempunyai tradisi dan budaya politiknya sendiri.
Dia melanjutkan, "Kami tidak akan membiarkan Parlemen menjadi halaman belakang partai yang berkuasa. Kami akan menolak praktik baru itu dengan segala kesempatan yang kami punya."
"Tradisi ini telah berlangsung di Parlemen Turki selama 90 tahun, di luar peraturan internal. Kode etik berpakaian merupakan bagian dari itu. Jilbab hanya sebuah simbol dari mindset melawan sekularisme."
Ketua Fraksi CHP di Parlemen, Engin Altay mengatakan kepada Today's Zaman bahwa dirinya menganggap keputusan anggota parlemen itu untuk mengenakan jilbab tidak tulus, karena dilakukan sebelum pemilihan umum.
Altay mengatakan, "Kami merasa adalah salah meregangkan peraturan internal sedemikian rupa untuk menciptakan anarkisme dalam kode etik berpakaian."
Altay, menyatakan bahwa perdamaian sosial di Turki didasarkan pada sekularisme.
"Kami menghormati hak anggota parlemen itu sebelumnya untuk menunaikan ibadah haji. Tapi, adalah sesuatu yang tidak tulus menghadiri sesi parlemen dengan mengenakan jilbab saat ini, mengingat hanya sedikit waktu menuju Pemilihan Umum."
Keputusan anggota parlemen itu mengenakan jilbab dibuat menyusul keputusan Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan yang mengatakan pelarangan pemakaian jilbab di sektor publik akan dihapuskan.
Setelah mengumumkan paket demokratisasi, Ketua Parlemen Turki Cemil Çiçek mengatakan, saat ini tidak ada lagi larangan mengenakan jibab di Parlemen sesuai dengan paraturan.
Nurcan Dalbudak, salah satu anggota parlemen yang berniat mengenakan jilbab itu mengatakan, Turki masih jauh dari kebebasan dan hak-hak asasi manusia.
"Turki akan meninggalkan praktek memalukan ini pada 31 Oktober, sebagai batu loncatan untuk kebebasan."
Dia melanjutkan, "Di negara yang rakyatnya 60-70 persen mengenakan jilbab, larangan mengenakan jilbab itu di ruang publik, universitas dan lembaga publik lainnya adalah sesuatu yang memalukan."
"Ini menimbulkan kesedihan bagi banyak orang. Ini bukan lagi Turki di tahun 1990-an. Universitas-universitas sudah membuang jauh hal yang memalukan ini, kini saatnya para politisi untuk menjauh dari hal yang memalukan [larangan memakai jilbab] itu."
Dalbudak mengharapkan anggota parlemen lainnya menunjukkan sikap dewasa dengan bakal hadirnya dirinya di Parlemen.
Dia mengakui, dirinya telah berkonsultasi dengan tokoh partai nasionalis lainnya, Partai Gerakan Nasionalis (MHP) Meral Aksener yang akan mempimpin sesi parlemen 31 Oktober mendatang mengenai rencananya mengenaikan jilbab.
Konsultasi itu dilakukannya saat menunaikan ibadah haji di Mekkah, Arab Saudi bulan lalu. Akşener, kata Dalbudak, sudah bersikap dewasa menanggapi hal itu.